Tiga hari setelah pembagian bantuan, Gaza kembali terbakar. Bukan karena api yang biasa, tapi karena kehilangan yang tak punya bentuk, tak ada warna, hanya bau debu dan suara isak yang tertahan.
Amina berdiri di depan reruntuhan bangunan yang dulunya rumah bagi keluarga kecil di ujung gang. Mereka biasa duduk bersama di teras, mengelus kucing, menyeduh kopi. Sekarang, hanya tersisa pecahan cangkir dan boneka setengah hangus di bawah puing.
Ia menutup mata sejenak, mencoba menahan ingatan. Tapi ingatan bukan pintu yang bisa ditutup. Ia bocor, seperti luka yang tak tahu bagaimana caranya sembuh.
Suara langkah membuyarkan lamunannya. Elian muncul dari balik lorong, membawa perban dan obat-obatan.
“Ada dua yang selamat. Seorang ayah dan anak perempuannya,” ucapnya cepat, matanya tak menatap Amina. “Sisanya…”
Tak perlu dilanjutkan.
Mereka bekerja dalam diam. Tangan Amina penuh debu, darah, dan peluh. Namun ia terus membantu, seolah itu satu-satunya hal yang bisa memberinya makna malam itu.
Menjelang malam, Amina duduk di atas tumpukan karung tepung yang dijadikan kursi darurat. Elian duduk di sampingnya, memegang botol air yang sudah setengah kosong.
“Kadang aku iri pada orang-orang yang bisa marah,” kata Elian pelan.
Amina menoleh.
“Karena kemarahan berarti kau masih percaya sesuatu bisa berubah.”
Amina menghela napas. “Tapi kalau terlalu sering kehilangan, kemarahan itu padam. Yang tersisa cuma… kehampaan.”
Elian mengangguk.
“Lalu, kenapa kau tetap di sini?” Amina bertanya.
Elian terdiam cukup lama sebelum menjawab, “Karena aku ingin percaya, bahkan jika itu menyakitkan.”