Amina duduk bersandar pada tembok retak ruang belakang klinik, tempat satu-satunya lampu minyak menyala remang. Di tangannya, sebuah kertas lusuh berisi tulisan yang ia ulang berkali-kali sejak senja tadi. Pulpen biru hampir kehabisan tinta, tapi ia tetap mencoret, menghapus, lalu menulis lagi. Suara napasnya nyaris tenggelam di antara desir angin dan gelegar dari kejauhan yang tak pernah benar-benar menghilang.
"Menulis surat?" tanya Elian pelan, suaranya nyaris kalah oleh desir angin yang membawa bau asap. Ia berdiri di ambang pintu, bayangannya membaur dengan dinding yang hitam oleh jelaga. Matanya menatap lembaran di pangkuan Amina seolah ingin membaca isi hati yang belum tertulis.
Amina tersenyum tipis. "Untuk seseorang yang mungkin tak akan pernah membacanya. Tapi entah kenapa, aku ingin tetap menulis."
Elian melangkah masuk. Ia duduk di samping Amina, menjaga jarak tapi tidak terasa jauh. “Surat itu... isinya tentang apa?”
Amina terdiam sejenak, mengelus bagian pinggir kertas. "Tentang suara-suara yang tak bisa kuungkap. Tentang malam yang terlalu sunyi. Tentang mimpi-mimpi yang masih ingin hidup meski dunia kami terus runtuh."
Di luar, langkah kaki terdengar mendekat. Seorang anak laki-laki bernama Fawzi berdiri di ambang pintu, napasnya tersengal.
"Ustadzah, ada bayi baru lahir di blok utara. Ibunya berdarah terus. Mereka butuh bantuan."
Tanpa banyak bicara, Elian dan Amina bangkit. Di tengah malam yang kelam, mereka membawa tas darurat berisi perban, air, dan sepotong kain hangat. Sepanjang jalan, Elian tak bisa lepas dari suara napas Amina yang cepat namun tetap tenang.
Di salah satu sudut bangunan yang dindingnya nyaris roboh, seorang perempuan muda terbaring di atas kasur tipis. Seorang nenek tua menangis di sampingnya, menggenggam tangan cucunya yang baru saja melahirkan.