Udara dini hari membawa aroma debu dan bara yang tersisa dari malam sebelumnya. Langit belum sepenuhnya pulih dari letupan, seolah masih mengingat apa yang dikoyak semalam. Di dalam ruangan kecil yang dijadikan posko darurat, Amina duduk bersimpuh di samping seorang anak perempuan berusia lima tahun yang masih menggenggam roti pipih dengan tangan kecilnya.
"Apa kamu sempat tidur, Yasmine?" bisiknya lembut.
Gadis kecil itu mengangguk, matanya tetap terbuka lebar. Tidur, di Gaza, bukan tentang memejamkan mata tapi tentang berharap mimpi lebih tenang dari kenyataan.
Di luar, Elian baru kembali dari pos medis. Wajahnya kusut, tangan masih ternoda darah yang mengering.
"Aku bantu di kelahiran darurat. Si ibu selamat. Bayinya juga." Ia menjatuhkan diri di kursi di seberang Amina. "Tapi aku tak tahu mau merasa bahagia atau sedih."
"Karena bayi itu lahir di dunia yang terus runtuh," balas Amina lirih.
Beberapa menit mereka duduk dalam diam. Hanya suara sepatu para relawan yang berseliweran di lorong-lorong sempit, dan tangis sesekali dari ruangan lain.
Kemudian, suara langkah terburu-buru menghampiri.
“Ada laporan dari kamp selatan,” ujar seorang pemuda, jurnalis lokal yang baru bergabung dua hari lalu. “Mereka kekurangan selimut. Anak-anak menggigil. Beberapa belum makan sejak kemarin.”
Amina dan Elian saling pandang. Tak ada waktu untuk ragu. Mereka langsung mengatur beberapa kantong bantuan: makanan kaleng, biskuit, beberapa sweater anak-anak, dan termos berisi air hangat.
Jalan menuju kamp itu bukan yang paling aman. Mereka harus melewati reruntuhan rumah yang pernah berdiri, sisa kendaraan terbakar, dan titik-titik yang belum pasti statusnya apakah masih mengandung ranjau atau tidak.
Tapi kaki mereka tetap melangkah.
Ketika tiba di kamp, pemandangan itu membuat Amina terdiam. Bukan hanya karena penderitaan, tapi karena kekuatan.
Seorang anak lelaki membagi roti kecilnya menjadi tiga untuk adik-adiknya. Seorang wanita tua menjahit sisa-sisa kain untuk dijadikan penutup kepala bagi cucunya. Seorang ayah membacakan doa dengan suara keras di tengah lapangan berlumpur.
Amina menyerahkan sweater pada seorang ibu muda. "Ini mungkin tak cukup hangat, tapi… semoga menolong malam ini."
Wanita itu memeluknya erat. "Namamu siapa, nak?"
"Amina."
“Terima kasih, Amina. Untuk tetap tinggal di sini, ketika kau bisa saja pergi.”
Ucapan itu menghantam dada Amina lebih dari dentuman apapun.
Di sisi lain, Elian sedang memeriksa kaki bocah yang terluka. Dengan sisa perban dan antiseptik, ia membersihkan luka itu, lalu membisikkan, “Kau hebat, tetap kuat seperti ini, ya?”
Anak itu mengangguk, matanya menatap Elian seperti baru melihat cahaya.
Hari mulai merambat menuju sore. Awan tipis bergerak lambat di atas Gaza. Sesaat, suara ledakan tak terdengar. Tapi sunyi ini justru mencekam. Karena mereka tahu, diam bukan berarti damai. Hanya jeda.
Sebelum mereka pulang, Amina memotret langit senja dan anak-anak yang berlarian dengan jaket lusuh yang mereka bawa.
Judul untuk blog malam ini sudah ada di pikirannya: Senja yang Tak Sempat Tua.