Pagi itu, suara drone masih menggantung di udara seperti dengung lebah yang tak pernah tidur. Amina duduk di antara anak-anak yang berkumpul di tenda darurat. Mereka membentuk lingkaran, berselimutkan selimut tipis yang tak cukup menahan dingin. Tangannya memegang semangkuk kecil bubur yang akan dibagikan. Di tengah segala kekurangan, Amina tetap tersenyum, mencoba menjadi matahari kecil di tengah langit yang tak pernah benar-benar cerah.
Elian muncul dari sisi lain tenda, membawa dua kantong besar berisi baju hangat dan makanan kering. Wajahnya lelah, tapi matanya menatap penuh tekad. "Aku dapat tambahan bantuan dari klinik di Khan Younis. Mereka titipkan ini untuk anak-anak," ucapnya pelan sambil menurunkannya.
Amina menoleh. "Terima kasih, Elian. Kita akan bagi setelah sarapan."
Tak lama setelahnya, teriakan terdengar dari ujung jalan tenda. Suara jeritan ibu-ibu dan anak-anak membuat semua kepala menoleh. Amina refleks berdiri dan berlari ke luar, diikuti Elian.
Di depan mata mereka, pasukan IDF masuk ke area pemukiman yang belum lama ini jadi tempat pengungsian. Sebagian tentara menyeret pria tua yang tak bisa berjalan dengan benar. Seorang anak laki-laki, mungkin baru berusia enam tahun, berusaha menarik tangan si pria tua, menangis histeris. Tanpa peringatan, salah satu tentara mendorong anak itu hingga jatuh.
"Cukup!" Elian berteriak, mencoba maju. Tapi Amina menahan lengan bajunya. "Jangan gegabah. Kita tidak punya perlindungan."
Air mata Amina menetes tanpa ia sadari saat melihat seorang wanita dipaksa berdiri dari tanah, membawa bayi di gendongannya. Bayi itu menangis kencang, namun tidak ada satu pun dari pasukan itu yang peduli.
Mereka akhirnya mundur, meninggalkan jejak horor yang tak bisa dibersihkan hanya dengan air. Elian mengepalkan tangan. "Sampai kapan ini terus terjadi?"
Amina menghela napas panjang, suaranya pelan. "Sampai dunia benar-benar melihat. Dan tidak hanya melihat, tapi memilih untuk tidak diam."
Hari itu mereka bekerja tanpa henti. Elian membagikan baju-baju hangat, membantu membalut luka ringan dari benturan dan terjatuh. Amina mencatat semuanya di buku kecilnya, menulis nama-nama anak yang kehilangan orang tua hari itu. Setiap coretan terasa seperti nisan baru.
Malam datang seperti biasa, tanpa janji akan ketenangan. Tapi Amina tetap membuka laptop kecilnya yang tersisa baterai setengah. Ia menulis untuk blog-nya, memberi judul: "Sisa Suara di Antara Reruntuhan."
Mereka mungkin bisa hancurkan bangunan, tapi tidak suara kami.
Suara anak-anak yang tetap tertawa walau hanya bermain dengan batu dan bayangan.
Suara ibu yang menyanyikan lagu nina bobo agar bayinya tidak menangis ketakutan.