Langit masih hitam pekat saat sirine berbunyi lagi. Tanpa pikir panjang, Amina menggenggam tas kecilnya dan menarik tangan Layan, tetangganya yang baru berusia lima tahun, menuju terowongan perlindungan yang dibangun warga sejak konflik semakin menggila. Jalanan yang mereka lintasi dipenuhi debu, puing, dan tubuh-tubuh yang tak sempat menyelamatkan diri. Suara pesawat tanpa awak terus mengintai dari atas, seperti burung kematian yang tak lelah mengitari langit Gaza.
Di bawah tanah, di ruang sempit yang lembap dan hanya diterangi lampu minyak, puluhan orang saling berbagi ruang. Anak-anak menangis, para ibu mengguncang tubuh mereka pelan, berusaha menenangkan. Amina duduk bersimpuh, memeluk lutut, dan memandangi dinding tanah yang dingin seakan menanti jawaban dari diam yang menggantung.
"Berapa lama kita harus terus sembunyi seperti ini?" bisik seorang perempuan tua yang duduk di sampingnya. Suaranya serak, seperti doa yang sudah terlalu sering diulang, namun belum dikabulkan.
Amina hanya mengangguk kecil. Lidahnya kelu. Jawaban apa yang bisa ia berikan, ketika dunia pun seakan lupa mereka ada?
Suara tangis bayi memecah kesunyian sesaat. Seorang ibu muda terlihat kesulitan menenangkan anaknya. Amina mendekat, mengeluarkan biskuit terakhir dari tasnya dan memberikannya. “Ini saja yang aku punya,” ujarnya pelan.
Sang ibu mengangguk, matanya berkaca. “Semoga Allah memberkatimu.”
****
Di seberang kota yang nyaris tak bersisa, Elian sedang membagikan persediaan obat ke sebuah klinik darurat. Tadi pagi, ia sempat membantu melahirkan seorang bayi yang ibunya kehilangan suami dua hari lalu dalam serangan udara. Saat tangan kecil itu menggenggam jarinya untuk pertama kali, Elian merasa dadanya sesak. Di tanah yang dipenuhi kehilangan, kehidupan terasa seperti mukjizat yang terlalu mahal.
"Elian!" panggil Mahmoud, relawan muda lainnya. "Kami dengar ada pengungsian besar di sebelah selatan kota. Banyak yang butuh pertolongan."
Tanpa ragu, Elian mengemasi barang-barangnya. Tapi pikirannya tertinggal pada Amina. Sudah tiga hari mereka tak sempat bertukar kabar, padahal biasanya, satu pesan singkat pun cukup untuk membuatnya bertahan.
Di mobil ambulans lapuk yang disulap jadi kendaraan logistik, Elian duduk diam menatap jendela. Jalanan yang mereka lintasi berisi bayang-bayang rumah yang pernah berdiri megah, kini jadi reruntuhan.
"Menurutmu, kita masih bisa menyelamatkan mereka?" tanya Mahmoud pelan.