The Silence Between Bombs

ohinisarah
Chapter #11

11 | Tangan yang Menggegam Harapan

Amina duduk di sudut tenda pengungsian, mencatat sesuatu di buku kecil yang terselip di balik kerudungnya. Langit siang itu muram, meski tidak ada ledakan hari ini, angin membawa debu yang membuat matanya perih. Di sekelilingnya, deru tangis anak-anak dan suara ibu-ibu yang menenangkan menjadi musik latar keseharian mereka.

Tenda-tenda berdempetan di kamp pengungsian Khan Younis. Beberapa sudah robek, ditambal dengan potongan plastik. Seorang pria tua melintasi jalan setapak tanah becek sambil membawa jerigen kosong, barangkali untuk diisi air dari truk bantuan yang katanya akan datang siang nanti. Di dekat dapur umum, beberapa sukarelawan mendistribusikan roti pipih dan sup hangat. Hari ini mereka cukup beruntung mendapat makanan dua kali.

Amina mengamati dengan mata sendu. Ia merasakan perih bukan hanya karena lapar, dingin, atau sempitnya tenda tapi karena semua ini menjadi normal. Anak-anak belajar menulis di tanah. Wanita-wanita tua menjahit dengan cahaya redup dari lampu tenaga surya. Seorang ibu muda memeluk bayinya yang batuk-batuk, menggigil.

"Amina!" panggil seorang pemuda. Itu Hasan, jurnalis lokal yang juga mengungsi di kamp itu. Ia membawa kamera usang di lehernya dan beberapa rekaman di tangannya. "Ada laporan dari utara. Banyak yang belum dievakuasi."

"Kamu akan ke sana?" tanya Amina.

Hasan mengangguk. "Kalau aku tidak meliput, siapa yang akan tahu? Dunia diam. Tapi kita tidak boleh ikut diam."

Amina menatapnya lama. Hasan adalah satu dari sedikit jurnalis lokal yang masih terus bekerja di tengah reruntuhan. Tak ada gaji, tak ada stasiun televisi yang membayar. Tapi ia masih merekam. Masih menulis. Masih bertanya. Merekalah penjaga narasi Gaza.

Sore itu, Amina duduk di bawah langit kelabu. Ia membuka Qur’an kecil dari ayahnya halaman sudah menguning dan sudut-sudutnya rapuh. Suaranya lirih saat membaca surah Al-Baqarah ayat 286. Matanya basah, tapi wajahnya teduh. Ia menulis entri baru di blognya:

"Hari ini langit mendung, tapi kami tetap bangkit. Kami berbagi selimut, membagi air, membagi harapan. Setiap tangan yang menggenggam tangan lain di tengah ketakutan adalah bentuk ibadah. Di tanah ini, kami belajar bahwa cinta bukan hanya rasa, tapi keputusan untuk tetap hadir meski bisa pergi."

Malam tiba dengan suhu yang menggigit. Amina membagikan jaket kecil dari kardus bantuan. Seorang bocah berumur lima tahun mencium tangannya, dan Amina terisak. Ia tak ingin menjadi pahlawan. Ia hanya ingin mereka tidak merasa sendiri.

Sementara itu, dari kejauhan, suara drone kembali terdengar. Semua menatap langit. Tapi Amina menunduk, memeluk bocah itu, dan berbisik, "Tak apa. Kita akan baik-baik saja. Allah mendengar, bahkan dalam diam."

Hasan kembali larut malam, dengan rekaman di tangannya. "Aku dapatkan semuanya," katanya sambil terengah. "Ada ibu yang melahirkan di bawah reruntuhan. Bayinya selamat. Kita harus ceritakan itu. Harus."

Amina tersenyum lemah. "Kamu akan menuliskannya?"

"Kita," jawab Hasan. "Kita akan menuliskannya."

***

Amina mendekap anak perempuan kecil yang masih gemetar dalam pelukannya. Di luar tenda, suara tangis dan jeritan masih bersahut-sahutan. Tapi dalam tenda kecil ini, ia menciptakan ruang sempit untuk ketenangan walau hanya sementara.

Lihat selengkapnya