The Silence Between Bombs

ohinisarah
Chapter #12

12 | Nafas di Tengah Reruntuhan

Tenda pengungsian itu berdiri seadanya, di lahan terbuka yang dulunya taman kota. Angin musim dingin menyusup lewat celah-celah terpal, menusuk tulang. Amina berjalan cepat sambil menggenggam kotak P3K, mengenakan jaket lusuh yang warnanya hampir serupa debu di sekelilingnya.

Di belakangnya, seorang bocah perempuan mengikuti, memegangi lengan ibunya yang pincang."Letakkan dia di sini," kata Amina, menunjuk matras tipis yang dibentangkan di atas alas plastik.Perempuan itu tak lebih tua dari Amina, tapi wajahnya telah membatu oleh trauma.

Bocahnya diam saja, menggigit ujung selendang sambil menahan air mata. Amina menyentuh bahu anak itu dengan lembut. Siapa namamu?”

“Ranin,” bisiknya."Ranin, bantu pegang ibu, ya?" ucap Amina lembut. Tangannya bergerak cekatan memeriksa luka.

Tak begitu parah, tapi perlu dijahit. Sementara seorang relawan laki-laki menyiapkan alat, Amina menoleh pada ibunya. “Saya harus membersihkan luka ini dulu. Agak perih, tapi kau kuat, ya?”Perempuan itu mengangguk, menahan isak.

Di luar tenda, suara keributan samar terdengar relawan sedang membagikan roti dan selimut ke antrean panjang. Elian muncul tak lama kemudian, membawa termos teh panas dan sekotak obat tetes mata.

“Banyak yang matanya teriritasi debu. Dan ada satu anak yang tangannya membiru. Sepertinya hipotermia ringan,” lapornya, sambil meletakkan barang-barang di sudut meja lipat.Amina mengangguk. “Kau bisa bantu setelah ini? Ada bayi yang demam di tenda belakang.

"Elian menyapu pandang ke sekeliling, lalu ke arah Amina. Wajahnya lelah tapi tetap waspada. “Tentu.” Di luar tenda, Hasan sedang mewawancarai seorang ayah yang kehilangan rumah dan pekerjaan hanya dalam satu malam. Kamera kecil tergantung di lehernya, tapi lebih sering dia menulis di buku catatan listrik terlalu terbatas untuk merekam segalanya.

Lihat selengkapnya