Langit pagi menggantung kelabu di atas tenda-tenda pengungsian yang berjajar seperti barisan luka yang belum sempat sembuh. Udara membawa bau asap, debu, dan harapan yang belum pudar. Amina menapaki jalan tanah yang basah oleh sisa hujan malam, langkahnya ringan tapi matanya menyimpan beban cerita yang tak bisa dilupakan.
Ia membawa sekarung baju hangat yang berhasil dikumpulkan dari para relawan dan warga yang masih memiliki sedikit lebih. Anak-anak menyambutnya dengan senyum merekah, seakan tubuh kurus mereka tak pernah kenal dingin, seakan mereka belum pernah kehilangan apa pun.
"Ini untukmu," kata Amina pada seorang bocah perempuan berkerudung lusuh, menyelimutkan jaket wol tipis ke bahunya. Anak itu hanya menunduk, matanya menyorot lebih dalam dari usia yang semestinya.
Di balik tenda sebelah, Hasan, seorang jurnalis muda lokal, sedang mencatat narasi peristiwa hari itu. Ia baru berusia dua puluh enam, tapi garis keras di kening dan matanya sudah seperti milik orang yang hidup tiga kali lipat lebih lama.
Hasan menyaksikan bagaimana seorang lansia mencoba melindungi cucunya saat suara drone mendesing dari kejauhan. Ia menuliskannya perlahan, menggambarkan adegan itu bukan hanya dengan fakta, tapi dengan hati.
"Jika aku tak menulis ini, siapa yang akan percaya dunia bahwa kami benar-benar ada?" gumamnya.
Amina melirik ke arah Hasan yang duduk bersila di atas kardus, menulis dengan pena yang nyaris habis tintanya. Ia menghampiri.