Pagi itu, tenda pengungsian diguyur hujan deras. Suara rintik di atas terpal mengalahkan deru pesawat tempur yang lalu lalang di langit. Amina duduk memeluk lutut, menyaksikan anak-anak bermain lumpur di sela-sela kehancuran. Beberapa dari mereka tertawa, seakan tidak ada perang, seakan dunia masih punya ruang untuk kebahagiaan kecil yang sederhana.
Di dekat klinik darurat, Elian tengah membalut luka seorang pria tua yang tertimpa reruntuhan sehari sebelumnya. Matanya sekilas bertemu dengan Amina. Ia memberi anggukan kecil bukan sekadar sapaan, melainkan pengingat bahwa mereka masih ada di sisi yang sama: berusaha menyelamatkan yang tersisa.
“Aku mendengar beberapa relawan medis baru akan datang dari Rafah,” kata Elian kemudian saat mereka duduk sebentar di belakang tenda klinik. “Tapi jalurnya belum jelas. Kalau pun mereka bisa masuk, mereka butuh waktu.”
Amina mengangguk pelan. Ia merasa kehilangan kata-kata belakangan ini. Hanya jarinya yang terus sibuk menulis, baik di atas kertas maupun layar ponselnya yang retak. Setiap kalimat seperti doa bukan untuk keselamatan dirinya, tapi untuk dunia yang membaca, agar mereka tidak lupa Gaza.
Di dekat mereka, Hasan tengah mewawancarai seorang ibu yang kehilangan tiga anaknya. Suaranya tenang, tapi tangannya bergetar saat memegang mikrofon kecil yang tersambung ke alat rekam. Kamera tuanya telah ia tambal dengan selotip, tapi masih setia merekam kenyataan.
“Suamiku mati dua pekan lalu. Anakku yang bungsu, Lamis, baru lima tahun,” ucap ibu itu lirih.
Hasan tak bicara, hanya menunduk dan membiarkan keheningan menjadi ruang bagi air mata.
Beberapa tenda di sisi timur terbakar semalam. Isu menyebar cepat bahwa itu sabotase. Namun, tak ada waktu untuk mencari kebenaran. Mereka hanya bisa berganti tenda, berganti harapan.
Di malam hari, Amina duduk di sisi anak-anak, membacakan puisi yang ia tulis di sela kesibukan mengajar dan membantu. Anak-anak itu diam, mendengarkan dengan mata yang menyala dalam gelap.
"Di kota yang runtuh, aku temukan bintang-bintang bukan di langit, tapi di matamu, Lamis."
Amina masih menyimpan coretan nama-nama anak di kertas kecil. Ia ingin suatu hari nanti jika semuanya berakhir membacakan nama-nama itu di sebuah panggung. Bukan untuk menangis, tapi untuk mengingatkan dunia bahwa mereka pernah ada.
Tengah malam, saat udara semakin dingin dan langit kembali meledak oleh dentuman, Amina dan Elian berpapasan lagi. Kali ini di tenda distribusi makanan. Mereka tak saling menyapa dulu. Baru setelah membagikan roti dan susu, Elian bertanya pelan.
“Masih mau bertahan?”
Amina menatapnya. “Apa ada pilihan lain?”