Gema ledakan malam itu masih terasa berdenyut di dada Amina ketika fajar menyingsing dengan warna merah yang membakar langit.
Bau asap masih menggantung di udara, dan jalan-jalan sempit kamp pengungsian dipenuhi serpihan mimpi yang patah. Pagi ini, suara tangis bayi dan langkah-langkah tergesa menggantikan suara azan subuh.
Di salah satu sudut tenda, Amina sedang memeriksa luka seorang anak kecil yang terkena pecahan saat bermain di luar tanpa menyadari bahaya mendekat.Korban luka terus berdatangan.
Seorang ibu datang dengan anak perempuan kecil yang kehilangan dua jari. Seorang pria muda digotong oleh dua kerabatnya, dadanya tertembus serpihan logam.
Amina hanya bisa berbuat sebisanya dengan perban yang mulai habis dan antiseptik yang tinggal setetes."Kami kehabisan oksigen dan infus, Amina. Tenda ini sudah seperti ruang gawat darurat," ujar seorang relawan medis yang kelelahan, matanya merah.
Amina mengangguk, mencoba tegar. Di balik tenda lain, Hasan sedang duduk bersama Hamza, remaja pengungsi berusia empat belas tahun yang kehilangan keluarganya dalam serangan terakhir.