The Silence Between Bombs

ohinisarah
Chapter #17

17 | Doa yang Tertinggal di Atap

Langit belum sempat pulih dari debu dan bara ketika kabar angin kembali berhembus akan ada distribusi bantuan dari lembaga internasional, tapi lokasi dan waktunya masih rahasia demi keamanan. Beberapa keluarga mulai berkumpul di reruntuhan masjid lama, tempat yang dulu teduh kini menjadi pos darurat logistik. Amina membantu menata tenda-tenda sementara, bersama Umm Sa’ad yang tak henti-hentinya menenangkan para ibu yang kehilangan.

“Apa kita masih boleh berharap, Umm?” tanya seorang perempuan muda dengan bayi yang lemah di pelukannya.

“Selama langit masih terbuka untuk doa, maka harapan tak pernah tertutup,” jawab Umm Sa’ad dengan pelan.

Sementara itu, Hasan tengah memeriksa kondisi medis di tenda relawan. Luka-luka baru berdatangan. Seorang pria berumur empat puluhan dibopong dua remaja dengan balutan darah di perutnya. Hasan segera menyingsingkan lengan bajunya, tak sempat berkata apa-apa selain, “Baringkan dia di sini. Siapkan kain bersih. Kita butuh tekanan cepat di luka.”

Di tengah hiruk-pikuk itu, Hamza kembali muncul, matanya menghindar dari darah tapi langkahnya mantap. Ia membawa termos berisi air panas dan beberapa potong roti kering.

“Aku bisa bantu kasih minum ke anak-anak, Dok. Tapi jangan suruh aku megang jarum ya,” katanya setengah gugup.

Hasan menepuk bahunya. “Keberanian bukan soal siapa yang bisa menjahit luka, Hamza. Tapi siapa yang tetap berdiri ketika semua hal lain roboh.”

Amina memperhatikan mereka dari jauh, mencatat gerakan kecil itu dalam ingatannya. Ia ingin menulis tentang Hamza suatu hari bocah yang kehilangan rumah tapi tetap mau berbagi termos dan senyum.

Sore itu, ketika sebagian besar pengungsi sibuk mengurus kebutuhan, Amina naik ke atap bangunan separuh runtuh yang dulu merupakan pusat komunitas. Ia menyalakan alat rekam dan berbicara pelan:

"Hari ini, seorang anak laki-laki membawakan roti ke tenda pengungsi dan berkata: ‘Aku nggak bisa nyembuhin orang, tapi aku bisa bikin mereka hangat sebentar.’ Dunia mungkin tak mencatat namanya. Tapi langit, aku yakin, tidak akan lupa."

Ledakan dari kejauhan membuatnya menoleh. Langit yang merah jambu seolah ikut menahan napas. Beberapa burung yang masih bertahan terbang kacau.

“Ada yang terkena lagi…” gumamnya.

Ia turun tergesa. Di tengah langkah panik, seorang pria paruh baya menyerahkan sebuah kotak kecil padanya.

“Ini catatan putriku. Dia meninggal kemarin. Tolong, kalau bisa… ceritakan,” katanya sebelum berlalu.

Lihat selengkapnya