Langit belum sepenuhnya terang ketika Amina menyusuri lorong tenda-tenda darurat di kamp pengungsian Khan Younis. Udara pagi mengandung dingin yang menggigit, membuatnya membungkus selimut wol tipis yang dibagikan semalam. Ia membawa termos kecil berisi teh hangat dan beberapa potong roti pita kering yang hendak ia bagikan pada anak-anak yang masih belum mendapatkan sarapan.
Di balik tenda biru tua yang sudah berlubang di sana-sini, Amina mendengar tangis lirih. Ia melongok ke dalam dan mendapati seorang wanita tua menggigil sambil memeluk dua anak kecil. Salah satu dari mereka seorang balita terbatuk hebat.
"Assalamu’alaikum," sapa Amina pelan. Wanita itu menjawab dengan anggukan lemah.
Amina menyerahkan teh dan roti yang dibawanya, lalu bertanya, “Apa perlu saya panggilkan Elian?”
Wanita itu menggeleng, lalu membisik, “Kami sudah terlalu sering kehilangan... Semoga ini hanya demam.”
Amina duduk sebentar, menggenggam tangan wanita itu, lalu mengusap kepala si balita. “Langit belum menyerah. Jangan juga kita.”
Sementara itu, di klinik darurat, Elian tengah memeriksa seorang remaja yang terluka di bagian bahu karena serpihan bom. Ia mengenalnya namanya Emran anak dari guru bahasa Arab yang dulu sempat mengajar Amina.
“Rasanya gimana sekarang?” tanya Elian, menekan perlahan luka yang sudah dibersihkan.
Emran menahan perih. “Sakit... tapi aku masih bisa bantu di dapur umum nanti.”