Langit Gaza muram hari itu, seperti turut berduka atas kehilangan yang tak berujung. Amina berdiri di pinggir pemakaman darurat, di mana tanah-tanah basah digali dengan tangan kosong. Tidak ada cukup peti. Tidak ada cukup doa yang mampu menjelaskan duka ini.
Di antara tubuh-tubuh mungil yang dibungkus kain putih, Amina melihat wajah yang ia kenal. Namanya Yasmeen. Baru tujuh tahun. Muridnya. Suara tawanya masih terngiang di kepala Amina, saat mereka bercanda tentang cita-cita menjadi dokter atau mungkin pelukis. Sekarang, Yasmeen diam. Dan dunia ikut diam.
Dalam diam itu, Amina menunduk. Air mata tak selalu jatuh sebagai bentuk duka. Kadang, luka begitu dalam hingga tangis pun takut menyentuhnya. Ia tak membawa apa-apa ke pemakaman hari itu, kecuali sebuah buku catatan dan pulpen.
Tapi justru itulah yang ingin ia tinggalkan. Sebaris tulisan, di halaman pertama: "Kami pernah hidup. Kami punya nama. Kami takkan dilupakan."
Kembali ke kamp pengungsian, Amina menyibukkan diri membantu Umm Sa’ad dan relawan lainnya mengurus logistik. Selimut tipis dibagikan ke keluarga yang tinggal di tenda, beberapa sudah robek karena waktu dan pemakaian. Anak-anak berdesakan meminta baju hangat. Ibu-ibu mencatat kebutuhan susu bayi. Dan Amina tahu, tak semua akan terpenuhi. Tapi ia mencatat semuanya. Seolah dengan mencatat, ia bisa merawat harapan yang hampir punah.
Seorang ibu muda menarik lengannya. "Dokter Amina... bisakah kamu menulis nama suamiku? Ia belum pulang. Mungkin, kalau namanya tertulis, ia akan kembali."
Amina menggenggam tangan wanita itu. "Kita akan menuliskannya. Bersama doa."
Di tempat berbeda, Elian sedang menekan perut seorang pria tua yang terkena pecahan bom. Ia bersama Hasan dan dua relawan lokal berusaha menghentikan pendarahan dengan peralatan seadanya. Tak ada alat transfusi. Tak ada cukup anestesi. Tapi tak ada waktu untuk mengeluh.
"Kita butuh kain steril lebih banyak," kata Hasan, napasnya berat.