Ada hal-hal yang tak sempat kau tulis karena terlalu dalam melukai. Ada nama-nama yang terukir di dinding ingatan, meski tubuhnya tak lagi ada.
Dan di Gaza, nama-nama itu adalah puing yang tak bisa dibersihkan. Hari itu, aku membantu Hasan merapikan logistik yang baru datang dua dus besar dari kampanye penggalangan dana kecil yang entah bagaimana bisa menembus blokade.
Kami membuka satu per satu: selimut, vitamin anak, pembalut wanita, sabun bayi. Kecil, tapi menyelamatkan.
Hasan tak banyak bicara. Tapi ketika ia duduk dan menatap tangannya yang bergetar, aku tahu: malam tadi bukan hanya suara bom. Ia kehilangan seseorang lagi. “Siapa kali ini?” tanyaku pelan, seperti menyodorkan ruang bagi luka.
Hasan menggeleng. “Hamza belum kembali. Dia pergi bantu neneknya di Khan Younis. Seharusnya dia pulang kemarin.” Aku diam. Nama itu Hamza muncul sejak beberapa hari lalu, remaja pengungsi yang sering membantu membagi makanan di kamp.
Matanya selalu ingin tahu, senyumnya sering menyusup diam-diam ke tengah keputusasaan.Aku membuka buku catatanku. Di halaman pertama, tertulis nama-nama pasien yang tak sempat kami selamatkan. Dan Hamza belum ada di situ. Semoga tetap begitu.