Kabut debu belum juga mereda ketika Amina mengangkat tubuh kecil yang nyaris tak bergerak di antara puing-puing. Tangannya gemetar, bukan hanya karena serpihan beton yang masih menempel di kulit, tapi karena matanya menangkap luka-luka menganga di lengan bocah itu.
Anak laki-laki, tak lebih dari lima tahun, tubuhnya dingin, tapi masih bernapas.Di kejauhan, suara deru kendaraan ambulans yang kehabisan bensin menggantikan harapan.
Amina tahu, mereka tak bisa menunggu. Dia membungkus anak itu dengan jaketnya, menggandeng Hasan yang membawa perban seadanya.
Hasan tampak lebih tenang dari biasanya, tapi dari napasnya yang memburu dan peluh yang tak henti mengalir, Amina tahu: ketenangan itu hanya topeng agar yang lain tidak panik.Di tengah kerumunan yang kacau, suara tangis bayi dan pekikan ibu-ibu saling bertumpukan.
Rintih doa terdengar lirih, menembus langit yang kelam. Beberapa anak berjalan tanpa arah, wajah mereka mematung, penuh debu dan darah yang belum sempat dibersihkan.
Tak ada cukup tangan untuk mengobati semuanya. Tak ada cukup waktu. "Aku butuh tanganmu di sini!" teriak Hasan saat melihat Amina terhenti di tengah langkahnya.
Ia sedang menatap ke arah seorang ibu tua yang terduduk lemas, memeluk tubuh seorang gadis remaja. Mata si ibu merah, basah, dan tatapannya kosong.
Tak ada suara, hanya goyangan tubuhnya yang terus mengayun, seolah mencoba membangunkan anaknya dari tidur panjang yang tak akan bangun lagi. Amina mendekat.
Lututnya lemas. Ia ingin berkata sesuatu, tapi tak ada kata yang layak. Ia hanya bisa duduk di samping wanita itu, memegang tangannya, dan membiarkannya menangis di pelukannya.
Di sudut lain, Hamza remaja pengungsi yang selama ini tampak tangguh akhirnya menangis saat melihat Hasan mengganti perban di kakinya. Luka itu dalam, tapi bukan itu yang membuatnya menangis. "Dia adikku... dia di dalam rumah... aku tak bisa tarik dia keluar," katanya terbata.
Hasan menahan napas. Ia hanya menepuk bahunya. "Kau sudah selamatkan banyak nyawa hari ini, Hamza. Kau sudah jadi pahlawan, meski dunia tak melihat." Hari itu, tak ada rumah yang tersisa utuh. Bahkan tenda-tenda pengungsian pun ambruk. Mereka harus menata ulang semuanya dari awal.
Di balik sisa-sisa reruntuhan, hanya ada satu hal yang bertahan: keberanian untuk bangkit kembali.