Tenda-tenda darurat membentang di antara reruntuhan bangunan, berdiri ringkih seperti harapan yang belum sepenuhnya mati. Di satu sudut kamp pengungsian, Elian tengah membagikan perban dan obat-obatan yang tersisa. Tangannya cekatan, tapi matanya sayu. Udara sore membawa aroma debu, darah, dan kelelahan yang tak kasat mata.
Di sampingnya, Hasan membantu seorang anak kecil yang kakinya tergores reruntuhan. Anak itu menangis pelan, lebih karena takut daripada sakit. Hasan menepuk pelan kepala anak itu. "Kau kuat, Hamza. Lebih kuat dari banyak orang dewasa yang kutahu," katanya lirih.
Hamza menatapnya sejenak. "Kapan sekolahku kembali, Kak Hasan? Aku kangen tulisanku di papan tulis."
Hasan tercekat. Ia ingin menjawab, tapi tak ada yang pasti di negeri yang terus dipecah suara roket.
Sementara itu, Amina membantu Umm Sa’ad menyuapi dua bayi yatim piatu yang ditemukan dua hari lalu. Mereka menangis sepanjang malam, seakan mengenali bahwa dunia telah mencuri tempat tidur hangat dan pelukan ibu mereka. Di luar tenda, antrian panjang menunggu sebungkus makanan yang kini terasa lebih berharga dari emas.
Umm Sa’ad menghela napas, mengusap peluh di keningnya yang keriput. "Apa yang bisa kita ajarkan kepada bayi-bayi ini selain bertahan, Amina?"
Amina mengangkat pandangan dari bubur yang mulai mengering. "Bahwa bertahan juga bentuk ibadah. Bahwa Allah melihat kita, bahkan saat dunia memilih menutup mata."