Kegelapan malam merayap di balik tenda-tenda pengungsian yang sesak. Bau obat-obatan, darah kering, dan asap masih melekat di udara. Elian duduk di kursi lipat dekat meja perban, matanya menatap kosong pada selimut debu yang menyelimuti lantai tanah.
Ia baru saja selesai menjahit luka seorang pria lanjut usia yang terkena serpihan ledakan. Tangan kirinya masih bergetar. Bukan karena lelah semata, tapi karena tubuhnya terus menyimpan suara tangisan anak kecil, dentuman artileri, dan teriakan tak henti dari para korban.
Di kejauhan, terdengar lantunan doa yang samar. Elian menengadah ke langit malam yang koyak. "Kenapa suara ini belum berhenti di dalam kepala saya?" gumamnya lirih.
Hasan mendekat, membawa dua gelas kecil teh hangat. "Karena suara itu belum benar-benar hilang dari dunia ini," katanya. Ia duduk di samping Elian, menatap horizon gelap seolah ada sesuatu yang bisa diselamatkan.
Elian mengangguk perlahan. "Kamu tahu, aku pikir aku datang ke sini untuk menolong. Tapi kadang aku merasa seperti hanya menonton dunia terbakar dari garis depan."
Hasan menatap teh di tangannya. "Kita bukan penyelamat. Kita saksi. Dan kadang, suara saksi lebih keras dari peluru."
Ia kemudian melanjutkan, "Ada anak laki-laki tadi namanya Khalid yang terus menggenggam mainan rusak. Tangannya luka, tapi dia lebih peduli pada mainannya. 'Kalau Ayah datang, aku mau kasih ini ke dia,' katanya. Tapi kita tahu... Ayahnya tak akan datang."
Elian menunduk. "Kenapa dunia seperti ini?"
"Karena sebagian memilih melihat ke arah lain," jawab Hasan.
Sementara itu, Amina berdiri di depan anak-anak yang duduk melingkar di dalam tenda bacaan kecil. Beberapa dari mereka menggenggam kertas lipat hasil karya seni sederhana; yang lain masih tampak linglung setelah evakuasi terbaru.
"Hari ini, kita akan membaca tentang burung yang tak pernah lelah terbang, walau langitnya penuh badai," ucap Amina pelan. Ia mengangkat buku lusuh yang sampulnya sudah robek.
Saat membacakan cerita, Amina sesekali melirik Hamza, bocah pengungsi yang kehilangan ibunya dua malam lalu. Tatapan Hamza kosong, tapi tangan kecilnya menggenggam erat gambar burung yang ia gambar sendiri pagi tadi.