Fajar di pengungsian datang tanpa keindahan. Kabut tipis bercampur asap menggantung di udara, menciptakan gradasi abu yang menyesakkan. Amina terbangun lebih awal dari biasanya. Hatinya seperti memanggil, ada yang harus ia lakukan pagi itu.
Ia berjalan menyusuri lorong-lorong sempit di antara tenda, menyapa beberapa ibu yang baru saja selesai berwudhu. Beberapa anak duduk menggosok mata, menggenggam roti kering dari sisa bantuan malam kemarin. Amina menghampiri Hamza, yang duduk termenung dengan buku gambar terbuka di pangkuannya.
"Selamat pagi, burung kecil," sapa Amina sambil duduk di sampingnya.
Hamza mengangguk pelan. Di bukunya, tergambar rumah sederhana dengan atap merah, langit biru, dan seorang ibu tersenyum di jendela.
"Mimpi semalam?" tanya Amina.
"Iya. Aku melihat ibu membacakan cerita lagi. Tapi suaranya pelan sekali. Aku bangun sebelum cerita selesai," bisik Hamza.
Amina memeluknya, tak berkata-kata. Ia tahu, tak semua cerita bisa diselesaikan, tapi setiap halaman yang dibuka adalah bukti bahwa harapan belum sepenuhnya mati.
Di pos medis, Elian tengah memeriksa luka seorang remaja yang terkena pecahan dinding. Tangannya cekatan, tapi wajahnya murung. Hasan mendatanginya membawa sebotol kecil antiseptik dan menepuk bahunya.
"Kau belum tidur?"
Elian menggeleng. "Aku takut jika aku tidur, aku bermimpi tentang suara yang tak bisa aku bantu."