Angin pagi di pengungsian membawa aroma tanah basah dan sisa abu semalam. Cahaya mentari belum benar-benar menembus kabut tipis yang menggantung di antara tenda-tenda yang berdiri seperti saksi bisu luka-luka semalam.
Namun, di tengah sunyi yang rapuh itu, suara tawa kecil terdengar dari balik salah satu tenda pengungsian.Hamza duduk bersama dua anak lainnya, mencoba memperbaiki layang-layang dari kantong plastik bekas. Di sisinya, Amina ikut membantu, membetulkan simpul benang dengan tangan yang masih gemetar oleh kelelahan.
Tapi senyum di wajah anak-anak itu membuatnya tetap bertahan. “Kalau kita bisa terbangkan ini hari ini, mungkin langit akan tahu kita belum menyerah,” gumam Amina.
Elian melintas di dekat mereka, baru saja selesai memeriksa tenda medis. Matanya sayu tapi awas. Ia memperhatikan Amina dan anak-anak itu dalam diam. “Layang-layang di tengah reruntuhan… ironis, ya,” katanya pelan saat mendekat.Amina menoleh, lalu tersenyum. “Tapi tetap terbang. Sama seperti kita.”
Di dalam tenda medis, suasana masih sesak. Dua pasien baru datang setelah konvoi bantuan diserang di distrik utara. Seorang wanita muda kehilangan tangan kanannya, dan seorang pria tua meringis tanpa suara, matanya kosong menatap atap tenda.
Hasan berdiri di dekat ranjang wanita itu, tangannya berlumuran darah saat mencoba menghentikan pendarahan. “Tolong, perban lagi!” serunya pada seorang relawan.
Elian segera bergabung. Ia menunduk pada pasien yang menggigil, lalu berbisik, “Maaf, kami akan bantu. Tahan sebentar lagi.” Sambil bekerja, Elian bertanya pada Hasan, “Ada kabar dari konvoi barat?” Hasan menggeleng. “Belum. Tapi kita tak bisa berharap terlalu banyak. Mereka juga terjebak.” Di luar tenda, Amina mengajak anak-anak membacakan puisi hasil tulisan mereka sendiri. Salah satu anak, Salwa, berdiri malu-malu dan membacakan:
“Aku ingin menjadi angin yang tidak tertangkap oleh peluru yang bisa membisikkan kabar baik ke telinga ibu yang sedang menunggu.”
Amina menahan air matanya. Ia bertepuk tangan pelan, dan anak-anak mengikuti. Di antara reruntuhan dan kelangkaan, suara mereka menjadi cahaya.
Malam mulai turun perlahan. Umm Sa’ad duduk di luar tenda sambil menggenggam tasbih kecil. Di sebelahnya, Amina meletakkan secangkir teh hangat.