Pagi menyapa kamp pengungsian dengan debu yang mengepul dari reruntuhan semalam.
Tak ada sinar mentari yang utuh; hanya siluet cahaya yang malu-malu menembus tirai awan kelabu.
Elian duduk di dekat meja logistik, menghitung stok obat-obatan yang makin menipis. Setiap kotak perban, setiap botol antiseptik terasa seperti harapan yang dicicil sedikit demi sedikit.
Di sudut lain, Hasan berdiri bersama relawan muda, menyusun kembali dinding tenda yang sempat rubuh karena guncangan serangan udara.
Mereka menggunakan potongan kayu dan sisa kain terpal, membuat tempat berlindung darurat bagi para lansia dan ibu menyusui.
Hamza ikut membantu, meski tubuh kecilnya sering tersandung puing. Tapi wajahnya menunjukkan keteguhan yang tak mudah goyah.
"Kamu tidak harus membantu, Hamza," ujar Hasan, menepuk bahunya pelan.
"Tapi kalau aku diam saja, aku makin takut," jawab Hamza lirih.
"Ibu bilang, kalau kita bergerak, artinya kita masih hidup." Hasan tersenyum getir.
Anak-anak di Gaza tumbuh bukan hanya dengan luka, tapi dengan kebijaksanaan yang terlalu berat untuk usia mereka.
Sementara itu, Amina menyusuri barisan tenda menuju pos informasi. Ia membawa daftar nama-nama keluarga yang baru saja tiba, sebagian besar kehilangan tempat tinggal dan anggota keluarga.
Di pos tersebut, Umm Sa’ad tengah mencatat berita tentang bantuan pangan yang tertunda karena blokade.