Tenda-tenda pengungsian masih berdiri meski angin malam terus mengguncang kainnya seperti bisikan maut. Cahaya bulan mengintip malu-malu dari balik awan yang bergelut, menyaksikan luka-luka yang belum sempat dijahit oleh waktu.
Elian duduk bersandar pada dinding tenda, lututnya tertekuk dan jurnal kecil di pangkuannya terbuka, tinta-tinta di halaman sebelumnya sudah mulai luntur oleh debu dan air mata. Ia menatap halaman kosong itu dengan kebisuan yang pekat. Tidak ada kalimat yang cukup kuat untuk menggambarkan malam-malam seperti ini.
Hasan menghampirinya, membawa dua potong roti pipih yang dibungkus kertas cokelat. "Makanlah, sebelum dingin sepenuhnya."
Elian menggeleng pelan. "Aku tak lapar."
"Kau tak bisa menulis jika tubuhmu roboh," ucap Hasan, setengah memaksa. Ia duduk di samping Elian, lalu meletakkan rotinya di dekat jurnal. Mata mereka sama-sama menatap bayangan yang menari di dinding tenda karena cahaya lampu minyak.
"Tadi ada seorang anak yang datang dengan luka di punggung. Ia bilang, 'Dokter, tolong jangan buat aku tidur lama seperti ayah'."
Elian mengusap wajahnya. "Bagaimana aku bisa menjawab itu, Hasan?"
Hasan terdiam lama, lalu berujar, "Kita tak bisa menyembuhkan semua. Tapi kita bisa mendengar. Menyentuh. Menjadi saksi yang hidup, agar suara mereka tak lenyap."
Di luar, langkah kaki terdengar bergegas. Umm Sa’ad berlari kecil, wajahnya cemas.
"Amina! Di tenda anak-anak, Hamza tak bisa bernapas dengan normal!"