Malam menetes seperti tinta di langit Gaza. Di antara gemuruh pesawat tanpa awak dan gelegar meriam yang sesekali menyambar, tenda-tenda pengungsian seakan menjadi semesta kecil yang mencoba bertahan dari kehancuran besar.
Bau tanah lembap, darah, dan luka masih melekat erat di udara. Namun di tengah semua itu, suara anak-anak yang memanggil satu sama lain masih terdengar samar. Kehidupan belum menyerah sepenuhnya.
Elian duduk termenung di pinggir tenda medis, tangan kirinya masih dililit perban akibat tertusuk saat menjahit luka korban. Di hadapannya, seorang anak perempuan usia sembilan tahun tengah tertidur dengan luka jahitan di pelipisnya.
Ia tak sempat menangis saat pertama kali dibawa, hanya menatap kosong seolah semua tangisnya telah habis di tempat lain.
"Namanya Luma," kata Hasan, datang dari arah berlawanan sambil membawa termos air panas.
"Ayah dan ibunya belum ditemukan. Dia satu-satunya yang selamat dari puing itu." Elian menelan ludah, merasa pahit di tenggorokannya. Ia mengangguk pelan.
"Aku tak tahu lagi bagaimana cara mengatakan 'kau akan baik-baik saja' tanpa merasa berdusta."
Hasan menuangkan air ke dalam dua gelas plastik. "Kadang, kata-kata bukan penyembuh. Kehadiran, itulah yang menyelamatkan."
Tak jauh dari mereka, Amina tengah duduk melingkar bersama anak-anak lainnya. Tenda bacaan telah dibersihkan meski sebagian sisi masih berlubang. Ia membaca cerita rakyat kuno tentang gunung yang menangis karena kehilangan bintang.
Hamza, bocah pengungsi yang kehilangan ibunya, kini tampak lebih dekat dengan Amina. Ia tak banyak bicara, tapi kini ia sering duduk di samping Amina, menggambar burung atau menyalin potongan doa.
"Kak Amina," kata Hamza saat cerita selesai, "kalau bintang itu jatuh, apa bisa kita menemukannya lagi?" Amina menatap matanya dalam-dalam. "Kadang bintang jatuh tak bisa ditemukan. Tapi kita bisa menyimpan cahayanya di hati kita. Dan dari situ, kita tahu bahwa terang tak pernah benar-benar pergi."