“Y-yang dialami?” Ann memastikan, tubuhnya kaku beberapa saat, jantungnya tiba-tiba berdegup kencang.
Sambil mengotak-atik komputer, Gavin mengangguk. “Dari kehidupan sehari-hari.”
Ann menghela napas lega, ia kemudian menarik kursi di samping Gavin.
“Maksudnya, dari pengalaman pribadi terus kita cari cara buat bikin inovasinya?” Ann mencoba memperjelas.
“Iya.” jawabnya singkat.
Ann kembali menghela napas, kali ini lebih berat. Ruangan itu luas, terang, dan bersih, tapi ia seolah merasa kekurangan oksigen. Ia yaking eksistensi Gavin adalah penyebabnya.
Jeda di antara mereka terasa seperti tembok tak terlihat, ditambah suasana ruangan yang sunyi, hanya suara kipas komputer yang menemani. Ann membuka beberapa aplikasi di komputer, tapi pikirannya melayang, fokusnya terganggu. Sementara Gavin, sesekali mencuri pandang ke arah Ann yang terlihat kurang nyaman dari sudut matanya.
“Kamu selalu gini?” tanya Gavin tiba-tiba, nadanya datar tapi sarat arti. Ia mencoba mencairkan suasana.
Ann menjawab tanpa menatapnya. “Maksudnya?” Ia mencoba terdengar acuh tak acuh.
“Di hukum,” jawab Gavin, tanpa memandangnya.
Ann mengerutkan dahi, tetapi ia segera menyembunyikan reaksi itu. “Aku nggak tahu kamu ngomong apa,” balasnya santai.
Gavin akhirnya menoleh, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum kecil. Ia menyilangkan tangan di depan dada. “Aku cuma penasaran, orang yang sering kena hukuman kayak kamu pasti punya bakat tertentu untuk bikin masalah, kan?”
Ann menghela napas panjang, berusaha menetralkan emosinya. “Mungkin aku cuma orang yang nggak cukup pintar menyesuaikan diri,” ucapnya sambil tersenyum tipis. Tapi dalam hatinya, berbagai sumpah serapah sudah siap dilontarkan untuk pemuda itu. Namun, Ann memutuskan untuk mengalah, tidak ingin menarik perhatian lebih.
Gavin hanya mengangguk seolah tak peduli. Bagi orang lain, senyum Ann yang kikuk mungkin terlihat seperti kepolosan, tetapi Gavin melihat sesuatu yang berbeda. Ia memperhatikan bagaimana Ann sering tampak payah di situasi tertentu, tapi anehnya begitu terampil pada hal yang sama dalam situasi lain. Gadis itu seperti teka-teki yang sengaja dibuat rumit.
"Dulu di sekolah lama juga gini?" tanya Gavin, masih fokus menatap layar. "Sering bikin guru kesel?"
Ann terdiam sejenak, berusaha mencerna pertanyaan yang lebih seperti basa-basi itu, lalu tertawa kecil. “Nggak juga …” jawab Ann, namun ia segera menambahkan ketika Gavin menatapnya, “ ya, mungkin sesekali.”
Gavin mengangkat alis. “Oh? Tapi di sini, kamu kayak anak yang baru belajar disiplin.”
Ann hanya tersenyum simpul, tidak memberikan jawaban. Ia tidak tahu apa yang Gavin mau, tapi Ann tidak berniat memberinya informasi tambahan. Biarkan saja jika dia menilai dirinya demikian.
Gavin mengalihkan perhatiannya kembali ke layar komputer, tapi pikirannya tetap terfokus pada Ann. Gadis itu terlalu mencolok, meski ia mencoba terlihat biasa saja. Ya, mungkin tidak ada yang sadar selain dirinya.
“Wah, kalau gini sih nggak akan selesai.” ucap Ann tiba-tiba, ia kemudian mengambil kertas tugas dari Ms. Mariska dan mulai menelisiknya, “Kita bagi-bagi ya.”
Ann mencoba mengabaikan rasa penasaran dan terintimidasi yang mengganggu benaknya sejak tadi. Ada sesuatu tentang Gavin yang terasa tidak biasa—seakan pemuda itu selalu tahu lebih banyak daripada yang ia tunjukkan.
“Ini nggak akan selesai, jam 6 kita pulang.” ucap Gavin, yang tidak berani Ann sangkal.
---
‘Ceklek’
Ruangan persegi yang tadinya remang-remang itu kini berubah menjadi terang. Lima orang penghuninya mulai memasang wajah serius. Sesekali menatap satu sama lain dan dokumen yang berserakan. Aroma kopi telah memenuhi seisi ruangan sejak tiga menit yang lalu.