The Silent Lines

Elz
Chapter #3

A Step Ahead

“Temen-temen, hari ini Pak Sena nggak masuk, beliau ada di rumah sakit, jadi jangan ribut ya!” ucap ketua kelas dengan nada yang cukup tegas.

Ann sontak memiringkan kepalanya, mendengarkan pengumuman itu. “Jadi … jam kosong?” tanyanya, tangannya yang tadinya sedang sibuk mencari kertas tugas kelompok miliknya di dalam tas terhenti di udara.

“Iya, makannya jangan ribut,” balas ketua kelas sambil menyisir rambutnya dengan tangan dan melihat ke sekeliling, memastikan tidak ada yang mulai berisik.

Ann menganggukkan kepalanya. Ia bisa melihat para siswa lain mulai mengeluarkan bukunya, ada yang menghafal, mengerjakan soal, atau bahkan bermain Truth or Dare. Mungkin yang bermain itu adalah para juara kelas, karena selama seminggu Ann sudah merasakan bagaimana mereka begitu ambisius dengan nilai mereka. Keteraturan dan kepatuhan mereka terhadap pelajaran jelas terlihat. Jadi yang bermain, adalah mereka yang sudah selesai belajar atau tidak terlalu peduli karena ujian mudah bagi mereka.

Ann memutuskan untuk meminta izin pergi ke perpustakaan. Ketua kelas itu langsung mengizinkannya tanpa ragu. Teman-temannya sudah terbiasa melihatnya pergi karena sering mendapat hukuman. Malah, mereka sudah merasa yakin kalau Ann pasti mendapat hukuman lagi, apalagi tadi ia datang terlambat ke kelas.

“Permisi.” Ann melangkah masuk, membuka pintu perpustakaan yang tertutup rapat.

Mata almondnya menyusuri seisi ruangan, mencari sosok pemuda yang semalam memaksanya untuk datang. Saat matanya menyapu meja-meja di sudut perpustakaan, ia akhirnya menemukan Gavin di meja paling ujung, dekat kaca, dengan satu tangan terangkat ringan, seolah memberi isyarat kalau eksistensinya ada di sana.

“Datang juga,” Gavin berucap, suaranya datar, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Ann.

Ann tidak langsung membalas, tapi menyempatkan diri untuk menarik sebuah kursi di hadapan Gavin, lalu duduk. “Pak Sena nggak masuk,” jawab Ann singkat, sambil menatap Gavin. Ia hendak melanjutkan kalimatnya ketika Gavin menyela.

“Di rumah sakit,” kata Gavin tenang, seolah itu hal yang sudah pasti terjadi.

Ann meliriknya dengan tatapan penasaran. Kenapa Gavin bisa tahu tentang ketidakhadiran Pak Sena? Bukankah Gavin tidak ada di kelas sejak tadi?

“Iya….” Ann mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-kata Gavin. Namun, rasa ingin tahunya mulai terbakar. Bagaimana Gavin bisa begitu tenang? Seperti dia sudah tahu segalanya. Rasanya, ada banyak hal yang seharusnya ia dengar, namun Gavin enggan memberitahu dengan jelas.

“Jadi kamu udah tahu sebelumnya kalau Pak Sena nggak masuk?” Ann akhirnya memutuskan untuk bertanya lebih langsung, berusaha membongkar jawaban dari Gavin.

Pemuda itu sedikit meliriknya, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke luar jendela. “Iya, makanya aku ajak ngerjain tugas di jam pelajaran,” jawabnya dengan suara santai. 

Ann terdiam. Perasaan aneh semakin menggigit. Gavin sudah tahu bahwa mereka akan punya waktu kosong, bahkan sebelum ketua kelas mengumumkannya. Ini tidak masuk akal dan pemuda itu bersikap seolah ia sudah bertemu dengan Pak Sena kemarin. Apa ada yang Ann lewatkan? Keinginan untuk mencari tahu lebih banyak semakin besar.

“Gimana kamu bisa tahu Pak Sena nggak masuk?” tanya Ann lagi, merasa ada yang perlu digali.

Gavin hanya mengangkat bahu, seolah pertanyaan itu tidak penting. “Ah, cuma denger-denger aja,” jawabnya singkat, mulai risih dengan Ann yang terus memojokannya karena hal sepele seperti itu.

Ann tidak puas. Ada sesuatu yang tidak cocok di sini. Semalam Gavin menghubunginya, memaksanya datang ke perpustakaan pada jam pelajaran. Namun, bagaimana mungkin ia tahu bahwa Pak Sena tidak masuk? Ann merasa bahwa Gavin sedang menyembunyikan sesuatu. Tetapi Gavin tetap terlihat biasa saja, tak terburu-buru menjelaskan lebih lanjut. Seperti dia tahu ini bukan masalah besar.

Lihat selengkapnya