The Silent Lines

Elz
Chapter #4

Skenario

Gavin melangkah ke ruang guru dengan tenang beberapa saat setelah bel pulang berbunyi, membawa tumpukan buku di kedua tangannya. Mr. Nathan baru saja memberinya tugas untuk mengantar buku-buku referensi itu ke ruang guru sebelum bergabung dalam rapat guru.

Saat memasuki ruangan, Gavin memastikan keadaannya. Sepi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar, berdetak perlahan seiring napasnya yang tertahan. Tanpa terlihat ragu, ia meletakkan buku-buku itu di atas meja Mr. Nathan, sesekali melihat letak cctv dan menerka titik buta, membiarkan kamera tersebut menangkap gerakannya yang wajar. Tangannya bergerak sigap, menyusun buku-buku agar terlihat seolah ia hanya sedang menjalankan tugasnya.

Namun, di sela-sela gerakannya yang tenang, matanya melirik meja tata usaha. Sebuah catatan yang sudah ia incar sejak kemarin tergeletak di sana. Eksistensi Pak Sena yang masuk ke ruangan tiba-tiba saat malam hari kemarin, membuatnya meninggalkan catatan itu, namun ternyata Pak Sena sama terkejutnya hingga pria itu berlari dan terjatuh dari tangga. Setelahnya Gavin tak tahu lagi, dan menebak kalau guru itu pergi ke rumah sakit.

Gavin melanjutkan aksinya, gerakannya tetap alami, ia beringsut sedikit ke samping, lalu dengan cekatan menyelipkan catatan itu ke dalam genggaman. Sekejap kemudian, ia memasukkan tangannya ke dalam saku, seolah hanya merapikan seragamnya. Tanpa menunda lebih lama, Gavin keluar dari ruang guru dengan langkah mantap. 

Di koridor, ia tetap menjaga ritmenya. Wajahnya tetap tenang, meski detak jantungnya sedikit meningkat. Sesampainya di kamar mandi laki-laki, ia segera masuk dan mengunci pintu bilik. Dengan cepat, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan catatan yang tadi berhasil ia ambil. Jari-jarinya membuka lembaran itu dengan hati-hati. Pandangannya menyapu isi biodata yang tertulis di sana, milik Pak Sena.

Gavin tersenyum tipis. Namun tampaknya timnya akan sedikit kecewa, karena Pak Sena bukan satu-satunya orang yang timnya cari.

Sementara itu, di sisi lain sekolah, Ann berdiri dengan wajah kesal. Tiga anggota OSIS menatapnya dari ujung kepala hingga kaki sebelum salah satunya menyilangkan tangan di dada. "Biar kapok, bersihin kamar mandi perempuan sampai kinclong," ucap anggota perempuan tersebut dengan nada puas.

“Ann kita tahu kamu baru, tapi hasil rapat OSIS baru-baru ini, kami sepakat untuk meningkatkan kedisiplinan di sini.” ucap anggota perempuan lainnya dan seorang anggota laki-laki hanya mengangguk.

Ann menghela napas dalam, menahan amarah yang mendidih di dadanya, namun tak bisa berkutik karena itu memang konsekuensi atas perbuatannya. Ini sudah kesekian kalinya ia dihukum karena terlambat, dan kali ini hukumannya lebih dari sekedar membersihkan laboratorium komputer.

Tanpa protes, ia mengambil alat pel, lalu masuk ke dalam toilet perempuan. Saat ia melewati ambang pintu, ekor matanya menangkap sosok Gavin yang baru saja masuk ke toilet laki-laki yang letaknya bersebelahan dengan toilet perempuan. Gerakannya sekilas biasa saja, langkahnya cepat dan mantap.

“Mungkin dia bakal lama di toilet.” Ann membatin, sebelum berpikiran bahwa itu artinya Gavin tidak akan berada di dekat gudang hari ini dan Ann harus memanfaatkan hal itu.

Ia mulai bekerja dengan efisien, tangannya bergerak lincah membersihkan lantai, mengelap kaca, memastikan tidak ada noda yang tertinggal. Setiap beberapa menit, ia melirik ke arah toilet laki-laki, memastikan Gavin belum keluar dari sana. Begitu tugasnya rampung, tanpa menunggu lebih lama, ia meletakkan peralatan dan langsung bergegas ke gudang.

Ann dengan mudah membuka pintunya yang tak dikunci, aroma kayu tua dan kelembaban menyambutnya. Dengan samar, ia bisa mendengar suara-suara para siswa yang sedang ekstrakurikuler di lapangan depan, Ann tersenyum tipis membayangkan mereka berteriak hingga suaranya terdengar ke gudang yang letaknya di belakang sekolah. Ia kemudian menyisir ruangan dengan tatapan tajam, mencari sesuatu—apa saja yang mungkin bisa menjadi petunjuk tentang apa yang terjadi di tempat ini. Namun, seperti yang sudah diduganya, tidak ada apa-apa. Jejak apa pun yang dulu mungkin ada, sudah lenyap.

Jari-jarinya menyentuh permukaan salah satu meja kayu di sana. Ia membayangkan sosok sepupunya, bagaimana ia bisa kehilangan nyawanya di tempat ini. Apakah ia melawan? Apakah ia sempat meminta tolong? Atau semuanya terjadi begitu cepat hingga tak ada kesempatan untuk menyelamatkan diri?

Pikirannya melayang, memutar ulang skenario demi skenario di kepalanya. Hingga sebuah suara memecah lamunannya.

Lihat selengkapnya