The Silent Lines

Elz
Chapter #7

Encrypted Feelings

Pagi itu, Ann tiba lebih awal di sekolah. Kelas masih sepi, hanya suara halus pendingin ruangan yang terletak di bagain depan dan belakang kelas. Ia menyandarkan kepalanya di atas lengan yang bersilang di meja, mengabaikan getaran halus dari ponselnya yang tergeletak di samping. Sekian menit berlalu, dan akhirnya, dengan desahan kesal, ia meraih perangkat itu, mematikan dayanya, lalu kembali menyembunyikan wajahnya di antara lengannya.

“Ann! Udah datang?” Suara ceria Selma memecah keheningan.

Ann menoleh, tersenyum tipis. “Tumben pagi-pagi?”

Selma mengernyit, alisnya hampir bertaut. “Bukannya aku yang harusnya nanya gitu?” kekehnya kecil.

Ann terkikik. “Sekarang aku selalu pagi kok.”

Selma, tanpa banyak bicara lagi, membongkar isi tasnya. “Kamu kok masih di sini? Nggak ke laboratorium?” tanyanya, sambil mengangkat beberapa buku.

Ann terdiam sejenak, matanya membelalak saat kesadaran menghantamnya. Selma sudah berlari keluar sebelum ia bisa merespons, ia tebak pasti Selma membawakan buku milik Reva dan Felisha untuk menandai komputer mereka di laboratorium. Dengan buru-buru, Ann mengangkat bukunya, langkah kakinya cepat menuju laboratorium sebelum komputer yang terletak di tempat strategis keburu diambil oleh siswa lainnya. Panggilan yang berderet di ponselnya, membuatnya lupa kalau hari ini ia punya jadwal praktek di laboratorium komputer.

Di laboratorium, suara keyboard beradu dengan gumaman rendah beberapa siswa yang lebih dulu datang. Ann memilih tempat yang terlihat nyaman, menandainya dengan bukunya sebelum kembali ke kelas.

Saat bel berbunyi, para siswa bergegas kembali ke laboratorium, seperti orang-orang yang nyaris tertinggal kereta. Ann mendengus saat mengetahui bahwa dua kursi di sebelahnya sudah diisi oleh laki-laki. Ia melirik Gavin yang duduk tepat di sebelahnya, dengan ekspresi malas, kemudian Gavin melemparkan lirikan ke Reza, ketua kelas mereka yang sama sekali tak menyadarinya, karena pemuda itu terlalu fokus pada buku catatan miliknya.

“Gavin maaf, boleh pinjam catatan? Aku ketinggalan 1 materi.” bisiknya kemudian, tidak ingin membuat keributan disaat siswa lainnya memperhatikan guru yang sedang menulis intruksi di papan tulis.

Gavin mengangguk, menyodorkan bukunya. Ann menahan tawa, ia menggigit bibirnya menahan tawa geli yang ingin keluar. Gavin meliriknya sekilas sebelum menghela napas. Sementara itu, Reza, memiringkan kepalanya, alisnya bertaut saat ia berusaha memahami tulisan Gavin yang nyaris seperti sandi rahasia.

“Reza, mau pinjam buku aku aja? Lebih lengkap,” Ann menawarkan, prihatin melihat Reza yang sampai melepas kacamatanya demi memahami coretan aneh Gavin.

Reza ragu, tapi akhirnya menerima buku dari Ann. “Makasih, ya.”

Pelajaran dimulai. Suara ketukan jemari di keyboard memenuhi ruangan, sesekali diiringi helaan napas frustasi. Ann merapikan hijabnya yang mulai berantakan, menatap layar komputer dengan lelah. Deretan kode dan huruf muncul di layar, ia baru saja ingin memperbaiki 1 line ketika ada indikasi Error. Namun, bukannya membaik, barisan kode itu justru semakin kacau, hingga kini ia harus memperbaiki 4 line.

Lihat selengkapnya