The Silent Lines

Elz
Chapter #8

The Truth He Knows

Ann berjalan dengan langkah cepat di lorong sekolah, pikirannya terfokus pada sebuah map berisi materi yang baru saja diberikan oleh Mr. Nathan. Jari-jarinya menggenggam erat tepi map itu, seakan ketakutan jika sesuatu akan menghempaskannya dari tangannya. Nilainya belakangan ini belum juga membaik, dan ia tahu tak punya banyak waktu untuk mengejar ketertinggalannya. Dalam hati, ia mengulang-ulang materi yang baru saja diterima, mencoba memahami konsep yang terasa melayang-layang di kepalanya.

Sebelum sempat berbelok ke kantin, langkahnya terhenti secara tiba-tiba. Sebuah kaki melintang di depannya, nyaris membuatnya tersandung. Refleks, Ann melangkah mundur, matanya langsung menajam pada sosok yang kini berdiri di depannya dengan ekspresi santai.

"Hampir aja," suara Gavin terdengar ringan, nyaris main-main. Kedua tangannya ia selipkan di saku celana seragamnya, dagunya terangkat sedikit, menatap Ann dengan penuh minat.

Ann mengerjapkan mata, kemudian mendengus. "Kamu sengaja?"

Gavin mengangkat bahu, bibirnya tertarik dalam setengah senyuman. "Mau ngobrol sebentar? Ada yang perlu kita bahas."

Ann menghela napas, ingin mengabaikannya, tetapi ada sesuatu dalam tatapan Gavin yang membuatnya berpikir ulang. Tatapan itu tajam, bukan seperti seseorang yang sekadar iseng. Ia mendapati dirinya mengangguk kecil, meskipun hatinya masih ragu. Tanpa banyak bicara, Gavin berjalan mendahului, menuntunnya ke dekat gudang peralatan olahraga yang letaknya tersembunyi di samping perpustakaan. Tempat itu sepi, hanya suara samar siswa dari perpustakaan di sebelahnya yang terdengar.

Gavin menyandarkan punggungnya ke dinding, melipat tangan di dada sebelum akhirnya menatap Ann lurus-lurus. "Udah berapa lama kamu diteror?"

Jantung Ann mencelos. Kedua tangannya menggenggam map di dadanya, seakan itu bisa melindunginya dari pertanyaan yang tiba-tiba. "Apa? Teror apa?" tanyanya, berusaha terdengar tidak peduli, meskipun suaranya sedikit bergetar.

Gavin hanya menghela napas sebelum mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Ia menyalakannya dan menunjukkan layar ke arah Ann. "Mau bohong sampai kapan?"

Pupil Ann melebar saat melihat layarnya—itu adalah ponselnya sendiri! Puluhan panggilan tak terjawab dan pesan misterius yang tadi ia lihat terpampang jelas. Tanpa pikir panjang, tangannya terulur, hendak merebut ponselnya, tapi Gavin lebih cepat. Ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi, membuat Ann hampir melompat untuk meraihnya.

"Jawab dulu," katanya tenang.

Ann mengatupkan bibirnya rapat. Napasnya berat saat ia akhirnya menyerah. "Sejak masuk SMK Bintang," gumamnya pelan.

Tatapan Gavin tetap mengunci wajahnya. "Jujur, Ann... aku tahu kamu siapanya Kak Azriel."

Tubuh Ann langsung menegang. Dingin merayap ke tengkuknya, membuatnya sulit bernapas. Ia menatap Gavin penuh selidik, mencari tanda apakah anak laki-laki itu hanya menebak atau benar-benar tahu.

Akhirnya, ia menghela napas panjang. "Sejak Azriel meninggal." Suaranya lirih, nyaris seperti bisikan. Tangannya terulur, dan kali ini Gavin membiarkan ponselnya kembali ke pemiliknya.

Ann menunduk, menatap layar ponselnya yang kini terasa lebih berat di genggamannya. Jemarinya bergetar halus sebelum mengepalkannya erat.

Lihat selengkapnya