THE SISTERS : Journey toward us

Meisy.SL
Chapter #3

Chapter 2: Hari tanpa mereka

Pagipun tiba dengan sedikit rintikan hujan..

Alma berdiri di depan pintu rumah dengan napas yang masih sedikit berat. Pikirannya berkecamuk—sebagian dirinya ingin terus mencari, namun sebagian lain menyadari bahwa kehidupan harus tetap berjalan. Ia menoleh ke arah Bella dan Riana yang sudah berseragam sekolah, terlihat murung namun berusaha menutupi kecemasan di wajah mereka.

"Kalian yakin bisa ke sekolah?" tanya Alma, suaranya terdengar sangat lembut.

Keduanya mengangguk, walau wajah mereka terlihat ragu. "Kalau kami terus bolos, nanti malah tambah susah, Kak," jawab Bella. "Dan lagi, kalau ibu dan ayah pulang nanti, mereka pasti tidak mau kita ketinggalan pelajaran."

Alma tersenyum tipis, mengangguk paham. "Baiklah. Kalau kalian butuh apa pun, jangan ragu untuk bilang ke kakak, ya."

"Bagaimana dengan pekerjaan ayah dan jualan ibu kak? Riana terlihat meneteskan air matanya.

" Aku sudah bicarakan dengan paman Jon, semoga saja, bos nya ayah bisa mengerti dengan keadaan ini. Kalau soal jualan ibu.., Aku minta tolong Ibu Ratmi untuk bicarakan masalah ini dengan pengurus pasar. Sementara ini kita tidak bisa lanjutkan jualan ibu. Semoga ayah dan ibu cepat kembali kerumah, biar ibu bisa jualan lagi."

Mereka bertiga berpelukan sebentar sebelum berpisah untuk melanjutkan hari masing-masing. Langkah Alma sedikit lebih lambat dari biasanya, setiap jejak kakinya seolah mengingatkan bahwa sesuatu yang hilang belum kembali. Ia tahu, pekerjaan di toko kain tempatnya bekerja sudah menanti. Sudah dua hari ia tidak muncul, dan meski rasa cemas terus menggerogoti hatinya, Alma tahu ia perlu menghidupi diri mereka bertiga.

Sesampainya di toko, Alma membuka pintu dengan pelan, berharap bisa masuk tanpa terlalu banyak perhatian. Namun, suara bel kecil di atas pintu menarik perhatian teman-temannya.

"Alma! Kamu ke mana saja? Kami semua khawatir!" teriak Lia, salah satu rekan kerjanya, sambil menghampiri dengan cepat. "Kau tidak bilang apa-apa, dan kami bahkan tak tahu bagaimana cara menghubungimu."

Alma hanya tersenyum lemah. "Maaf, Lia. Ada masalah di rumah. Aku benar-benar tidak bisa datang..."

Pemilik toko, Pak Along, keluar dan memandang Alma dengan tatapan khawatir. "Lu Alma, kalau masih tidak bisa buat kelja, Tak pelu datang paksa kelja. Fokus sama olang tua lu dulu lah."

Alma menggeleng. "Aku butuh pekerjaan ini, Pak. Aku harus bekerja," ujarnya pelan, namun tegas.

Pak Along mengangguk dengan pemahaman. "Baiklah, tapi kalau lu butuh waktu, jangan lagu untuk bicala dengan saya, ya.."

Alma mengucapkan terima kasih, lalu segera berganti seragam dan kembali bekerja seperti biasa. Namun, kali ini terasa lebih berat. Pikirannya terus-menerus tertuju pada Bella dan Riana, pada rumah yang semakin kosong tanpa orang tua mereka. Setiap kali melayani pelanggan, ada rasa hampa yang menyelinap, membuat senyumnya tak sehangat biasanya. Namun, ia terus bertahan, menyembunyikan rasa takut yang berkecamuk di dalam hatinya.

Di sekolah, Bella dan Riana juga mengalami hari yang penuh kecemasan. Di kelas, Bella duduk dengan pandangan kosong, tak begitu mendengarkan pelajaran yang diberikan. Beberapa teman mendekatinya, menanyakan apakah ia baik-baik saja, namun Bella hanya tersenyum singkat dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Di dalam hatinya, ia merasa sendirian. Tak ada satu pun dari mereka yang tahu tentang hilangnya orang tua mereka, dan Bella tak merasa siap untuk menceritakannya.

Sementara itu, Riana, yang lebih muda, merasakan beban yang sama beratnya. Di tengah pelajaran, ia menundukkan kepala di atas meja, mencoba menahan air mata yang tak terbendung. Gurunya, Bu Maria menyadari hal itu dan mendekati Riana dengan lembut.

"Riana, ada yang ingin kamu ceritakan?" tanya Bu Maria, duduk di sampingnya.

Riana menggeleng, namun tak mampu menahan tangis yang mulai tumpah. "Bu, aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku takut..."

Bu Maria menepuk punggung Riana dengan lembut, tidak mendesaknya untuk bicara lebih lanjut. Ia hanya duduk di sana, menemani Riana dalam keheningan yang penuh pengertian. Riana merasa sedikit lega, meskipun ketakutan itu tetap ada.

Di rumah, malam semakin sepi dan kelam tanpa sosok ayah dan ibu. Alma, Bella, dan Riana berkumpul di ruang tamu seperti biasa, namun tidak ada tawa atau cerita yang biasanya mengisi malam mereka. Sekali lagi, mereka bertiga saling bergandengan tangan, mencari kekuatan dalam keheningan yang tak terucap.

"Kita akan baik-baik saja, kan, Kak?" tanya Riana, menatap Alma dengan mata penuh harap.

Alma menarik napas dalam, berusaha menyembunyikan ketakutannya. "Kita akan baik-baik saja, Riana. Kita harus kuat. Ibu dan ayah pasti ingin kita tetap tegar."

Dalam kegelapan malam, ketiga kakak-beradik itu merasakan sebuah janji tak terucap: apa pun yang terjadi, mereka akan tetap bersama, menjaga satu sama lain sampai waktu membawa jawaban yang mereka cari.

Malam itu, ketika Alma, Bella, dan Riana sedang makan malam dalam suasana yang penuh keheningan, terdengar ketukan di pintu. Ketiganya saling memandang, berharap sejenak bahwa mungkin orang tua mereka telah kembali. Namun, ketika Alma membuka pintu, ia mendapati paman Jon dan istrinya, tante Mira, berdiri di sana dengan wajah khawatir.

"Oh, paman dan tante... masuk, masuk," ucap Alma sambil mempersilahkan mereka masuk.

Paman jon dan tante Mira duduk di ruang tamu, begitu juga dengan ketiga anak perempuan itu. Keheningan sejenak meliputi mereka sebelum paman Jon membuka pembicaraan.

"Alma, Bella, Riana... kami datang karena benar-benar khawatir. Sudah beberapa hari, dan kami sama sekali tidak mendengar kabar dari ayah dan ibumu," ujar paman Jon, suaranya pelan namun penuh perhatian. "Bagaimana? Apakah kalian sudah mendapatkan kabar apa pun dari kantor polisi?"

Alma menghela napas panjang sebelum menjawab. "Kami sudah membuat laporan, paman, kemarin pagi. Tapi sejauh ini, polisi belum menemukan petunjuk apa pun tentang keberadaan mereka. Mereka hanya bilang akan terus mencari dan memberi tahu kalau ada kabar."

Tante Mira menatap mereka dengan pandangan penuh simpati, kemudian berkata, "Alma, kalau kalian merasa kesulitan mengurus ini sendirian, jangan ragu untuk minta bantuan ke paman dan tante, ya. Kalian masih muda, dan persoalan seperti ini memang tidak mudah."

"Kami sangat berterima kasih, tante. Sungguh. Tapi... untuk sekarang, kami akan mencoba bertahan," Alma berusaha tersenyum meski hatinya berat. Ia tahu bahwa mereka harus kuat, terutama di hadapan adik-adiknya.

Lihat selengkapnya