“Siapa yang bertanggungjawab atas semua ini?”
“Saya.”
“Kau mengecewakanku Kapten Aiden Lee, cepatlah berkemas dan segeralah kembali ke Seoul.”
Aiden menatap datar Jenderal Sadev yang telah melenggang pergi meninggalkannya dengan seluruh harga diri yang terinjak-injak. Bagaimana bisa pria itu menghentikannya dengan tidak terhormat di depan seluruh anak buahnya dan beberapa pasukan elit dari negara lain yang bertugas di perbatasan Iran. Tapi ini memang salahnya. Penembakan yang ia lakukan kemarin justru memicu serangan bom yang tidak pernah diduga oleh pihaknya, sehingga banyak nyawa yang mati sia-sia karena peristiwa tak terduga kemarin. Ditambah lagi mereka baru saja menghancurkan satu perkampungan milik warga sipil yang tidak pernah ikut campur dalam urusan mereka. Dosanya kali ini mungkin jauh lebih berat dari dosa-dosanya yang lain karena menyebabkan banyak orang yang tak berdosa mati sia-sia dalam insiden penyerangan kemarin malam.
“Kapten, kita akan berada di dalam satu helikopter.”
Sial! Maki Aiden dalam hati. Kemarin ia yang menyuruh Ryuki untuk pulang ke negaranya. Dan sekarang ia justru dipulangkan dalam keadaan tidak terhormat oleh Jenderal Sadev, benar-benar memalukan!
“Minggir! Jangan halangi jalanku, Ryuki,” ucap Aiden gusar. Pria bermata sipit itu benar-benar menjengkelkan dan juga mengganggu sejak mereka ditempatkan di divisi yang sama. Sayangnya ia tidak bisa menghindari pria itu karena sejujurnya kemampuan Ryuki dalam menembak juga bagus. Bahkan pria itu dapat dimanfaatkan untuk menyamar di tengah-tengah penduduk sipil karena wajahnya yang terlalu normal. Ryuki memiliki wajah sempurna, dengan lesung pipit manis yang membuat orang-orang tidak akan menyangka jika ia adalah seorang sniper. Berbeda dengannya yang memiliki wajah dingin dan tak bersahabat yang selama ini banyak ditakuti oleh orang-orang. Ditambah lagi luka baret yang melintang di sekitar pelipisnya membuatnya tampak seperti seorang berandal yang benar-benar menakuti dan harus segera dijauhi. Tapi wajah tentu saja bukan halangan untuk menjalankan pekerjaanya sebagai seorang sniper, karena selama lima tahun ia menjalani pelatihan di camp khusus milik tentara rahasia pemerintah Amerika Serikat, ia telah dibekali banyak ilmu untuk menyamar dan menjadi mata-mata. Tentu saja selain menjadi seorang sniper, ia juga harus pintar mendekati korbannya agar ia dapat mengeksekusi korbannya dengan lancar.
“Selamat jalan bung, semoga kita dapat bertemu lagi lain waktu.” Charles, seorang tentara asal Jerman menepuk pundak Aiden pelan saat ia melihat Aiden sedang memasukan beberapa barang-barangnya ke dalam tas ransel hitam miliknya di dalam tenda.
“Hmm, kuharap juga begitu. Tapi bukan dalam suasana peperangan seperti ini, sesekali aku ingin melihatmu saat sedang bersantai di pinggir pantai.”
Charles memukul bahu Aiden pelan sambil tergelak konyol dengan candaan Aiden. Memang, menjadi tentara bayaran atau ahli tembak seperti mereka tidak akan pernah bisa memiliki angan-angan untuk berlibur. Jangankan berlibur, bahkan untuk bertemu dengan anggota keluargapun sangat sulit. Jadi kebanyakan para tentara bayaran ataupun sniper yang ditugaskan di daerah-daerah berkonflik adalah orang-orang sebatang kara, yang memiliki kepribadian rusak tanpa jiwa, karena mereka dituntut untuk menghilangkan rasa kemanusiaan mereka saat bertugas.
“Semoga kita memang dapat bertemu di momen-momen langka seperti itu. Ngomong-ngomong, apa yang akan terjadi padamu saat kau kembali nanti?”
“Entahlah. Mungkin menjadi tentara bayaran seperti biasanya, atau pembunuh bayaran untuk menghilangkan nyawa-nyawa busuk yang tak berguna.” jawab Aiden acuh tak acuh. Pengalamannya sebagai seorang sniper selama sepuluh tahun telah membuatnya cukup berpengalamana di dunia hitam pembunuhan yang selama ini telah membesarkan namanya.