The Son of Neptune

Noura Publishing
Chapter #2

PERCY II

Kalau kebetulan kita coba-coba meluncur ke bawah bukit dengan kecepatan delapan puluh kilometer per jam sambil naik nampan kudapan, pada saat kita menyadari di tengah perjalanan bahwa itu adalah ide jelek, sudah terlambat untuk berubah pikiran.

Percy hampir menyerempet sebatang pohon, terpental dari sebuah batu besar, dan berpuntir 3600 ke arah jalan tol. Baki kudapan bodoh itu tidak punya setir. Percy mendengar Gorgon bersaudari menjerit-jerit dan sekilas melihat rambut ular belang Euryale di puncak bukit, tapi dia tidak punya waktu untuk mengkhawatirkan itu. Atap gedung apartemen menjulang di bawahnya bagaikan haluan kapal perang. Tabrakan dalam waktu sepuluh, sembilan, delapan ….

Dia berhasil menikung ke samping sehingga kakinya tidak patah gara-gara tumbukan. Nampan kudapan menggelincir di atap dan melayang ke udara. Nampan terbang ke satu arah, sedangkan Percy ke arah lain.

Sementara Percy jatuh menuju jalan tol, sebuah skenario mengerikan terbetik di benaknya: tubuhnya menghantam kaca depan SUV, seorang komuter yang jengkel berusaha mengenyahkannya dengan wiper. Anak enam belas tahun yang bodoh jatuh dari langit! Aku sudah telat!

Ajaibnya, embusan angin meniup Percy ke samping—sudah cukup untuk menjauhi jalan tol sehingga menabrak semak-semak. Pendaratan tersebut tidaklah mulus, tapi lebih baik dibanding mendarat di aspal.

Percy mengerang. Dia ingin berbaring saja di sana dan pingsan, tapi dia harus terus bergerak.

Percy bangun dengan susah payah. Tangannya lecet-lecet, tapi sepertinya tak ada tulang yang patah. Dia masih menyandang tas punggungnya. Dia kehilangan pedang dalam perjalanan meluncur, tapi Percy tahu benda itu pada akhirnya akan muncul kembali di sakunya dalam wujud pulpen. Itulah bagian dari keajaiban pedang tersebut.

Percy melirik ke atas bukit. Kedua Gorgon itu benar-benar mencolok, berkat rambut ular warna-warni dan rompi Supermarket Supermurah hijau cerah. Mereka sedang menuruni bukit, lebih lamban daripada Percy, tapi lebih terkendali. Kaki ayam itu pasti cocok buat memanjat. Percy memperkirakan dirinya punya waktu sekitar lima menit sebelum mereka mencapainya.

Di sebelah Percy, pagar kawat tinggi memisahkan jalan tol dengan kawasan pemukiman yang terdiri dari jalanan berkelok-kelok, rumah-rumah nyaman, dan pohon eukaliptus tinggi. Pagar itu barangkali dipasang di sana untuk mencegah orang masuk ke jalan tol dan bertindak bodoh—seperti meluncur di jalur cepat sambil naik nampan kudapan—tapi jejaring kawatnya berlubang-lubang besar. Percy bisa dengan mudah menyelinap masuk ke kawasan tersebut. Mungkin dia bisa menemukan mobil dan berkendara ke laut di barat. Dia tidak suka mencuri mobil, tapi selama beberapa minggu terakhir ini, dalam situasi hidup-mati, Percy terpaksa “meminjam” kendaraan beberapa kali, termasuk mobil polisi. Dia bermaksud mengembalikan mobil-mobil itu, tapi tak satu pun berumur panjang.

Percy melirik ke kiri. Sesuai dugaannya, sembilan puluh meter di atas, jalan tol menembus kaki tebing. Dua pintu terowongan, masing-masing dilewati kendaraan yang lalu-lalang berlawanan arah, memelototinya seperti rongga mata tengkorak raksasa. Di tengah-tengah, seperti hidung, terdapat dinding semen yang menyembul dari sisi bukit, dilengkapi pintu logam yang menyerupai jalan masuk bungker.

Mungkin itu terowongan pemeliharaan. Sepertinya begitulah yang dikira manusia fana, kalau mereka menyadari keberadaan pintu tersebut. Namun, mereka tidak bisa melihat menembus Kabut. Percy tahu pintu itu bukan sekadar jalan masuk biasa.

Dua anak berbaju tempur mengapit jalan masuk. Mereka mengenakan perpaduan pakaian yang aneh: helm Romawi berjambul, tameng dada, sarung pedang, celana jin, kaus ungu, dan sepatu olahraga putih. Penjaga di kanan sepertinya perempuan, meskipun susah memastikannya karena baju tempurnya yang tebal. Penjaga di kiri adalah seorang pemuda gempal yang menyandang busur serta sarung berisi anak panah di punggungnya. Kedua anak memegangi tongkat kayu panjang bermata belati besi, seperti seruit zaman dulu.

Radar internal Percy meraung gila-gilaan. Setelah melalui hari-hari mengerikan, akhirnya dia tiba di tujuannya. Insting Percy memberitahunya jika dia bisa memasuki pintu itu, dia mungkin saja bakal menemukan tempat aman untuk pertama kalinya sejak para serigala mengirimnya ke selatan.

Jadi, kenapa dia justru merasa ngeri?

Jauh di atas bukit, kedua Gorgon berjuang memanjat atap kompleks apartemen. Jarak mereka sekitar tiga menit dari Percy—mungkin lebih.

Sebagian dari dirinya ingin lari ke pintu di bukit. Dia harus menyeberangi jalan tol, tapi itu gampang—dia hanya perlu berlari cepat sebentar saja. Dia pasti bisa sampai ke sana sebelum para Gorgon mencapainya.

Sebagian dari dirinya ingin menuju samudra di barat. Itulah tempat teraman baginya. Di sanalah kekuatannya paling besar. Para penjaga Romawi di pintu itu membuat perasaannya tidak enak. Firasatnya mengatakan: Ini bukan wilayahku. Ini berbahaya.

“Kau benar, tentu saja,” kata sebuah suara di sampingnya.

Percy terlompat. Awalnya dia kira Beano berhasil mengendap-endap hingga tepat di belakangnya, tapi wanita tua yang duduk di semak-semak malah lebih menjijikkan daripada Gorgon. Penampilannya seperti hippie yang barangkali sudah terdampar di jalanan sejak empat puluh tahun lalu, tempatnya memulung sampah dan baju compang-camping semenjak saat itu. Rambut gimbalnya yang mirip kain pel berwarna cokelat beruban, seperti busa root beer, dan diikat ke belakang menggunakan bandana bergambar simbol damai. Wajahnya dipenuhi kutil dan tahi lalat. Ketika dia tersenyum, tampaklah tiga buah gigi saja.

“Itu bukan terowongan pemeliharaan,” kata wanita itu, seolah sedang berbagi rahasia, “itu jalan masuk ke perkemahan.”

Listrik seakan menjalari tulang belakang Percy. Perkemahan. Ya, dari sanalah dia berasal. Sebuah perkemahan. Mungkin inilah rumahnya. Mungkin Annabeth sudah dekat.

Namun, rasanya ada yang tidak beres.

Kedua Gorgon masih berada di atap gedung apartemen. Kemudian Stheno memekik kegirangan dan menunjuk ke arah Percy.

Si wanita hippie tua mengangkat alis. “Waktunya tidak banyak, Nak. Kau harus membuat pilihan.”

“Siapa Anda?” tanya Percy, meski tidak yakin dia ingin tahu. Hal terakhir yang Percy butuhkan adalah manusia fana tak berdaya yang ternyata adalah monster.

“Oh, kau boleh memanggilku June.” Mata wanita tua itu berbinar-binar, seakan dia baru saja melontarkan lelucon hebat. “Sekarang Juni, kan? Bulan yang dinamai dari namaku!”

“Baiklah …. Dengar, saya harus pergi. Dua Gorgon sedang ke sini. Saya tidak ingin mereka melukai Anda.”

June menangkupkan tangan ke atas jantungnya. “Manis sekali! Tapi itu adalah bagian dari pilihanmu!”

“Pilihan saya ….” Percy melirik bukit dengan gugup. Kedua Gorgon telah melepas rompi hijau mereka. Sayap terkembang dari punggung mereka—sayap kelelawar berukuran kecil yang berkilauan laksana kuningan.

Sejak kapan mereka punya sayap? Mungkin itu cuma hiasan. Mungkin sayap itu terlalu kecil untuk menerbangkan Gorgon ke udara. Lalu, dua bersaudari tersebut melompat dari gedung apartemen dan membubung ke arah Percy.

Hebat. Hebat sekali.

“Ya, sebuah pilihan,” kata June santai, seakan dirinya tidak sedang buru-buru, “kau boleh meninggalkanku di sini, di bawah belas kasihan Gorgon, dan pergi ke laut. Kau pasti sampai di sana dengan selamat, aku jamin. Para Gorgon akan menyerangku dengan senang hati dan membiarkanmu pergi. Di laut, takkan ada monster yang mengganggumu. Kau bisa memulai kehidupan baru, hidup sampai tua, dan tidak perlu menjalani banyak kepedihan serta penderitaan yang terbentang di masa depanmu.”

Percy yakin dia tak bakal menyukai opsi kedua. “Atau?”

“Atau kau bisa berbuat baik terhadap seorang wanita tua,” kata June, “gendong aku ke perkemahan.”

“Menggendong Anda?” Percy berharap wanita itu bercanda. Kemudian June menyingsingkan rok dan menampakkan kaki bengkak keunguan.

“Aku tak bisa ke sana sendiri,” kata June, “gendong aku ke perkemahan—menyeberangi jalan tol, melewati terowongan, menyeberangi sungai.”

Percy tidak tahu sungai apa yang dia maksud, tapi kedengarannya tidak gampang. June kelihatannya lumayan berat.

Kedua Gorgon kini hanya berjarak lima puluh meter—meluncur santai ke arah Percy seolah tahu perburuan mereka sudah hampir berakhir.

Percy memandang si wanita tua. “Dan saya mau menggendong Anda ke perkemahan tersebut karena—?”

“Karena itu namanya perbuatan baik!” kata June, “dan kalau tidak, dewa-dewi akan mati, sedangkan semua orang dari kehidupan lamamu akan dibinasakan. Tentu saja, kau takkan ingat mereka. Jadi, kurasa itu tak menjadi soal. Kau akan aman di dasar laut ….”

Percy menelan ludah. Para Gorgon melayang semakin dekat sambil tertawa terkekeh-kekeh, siap membunuh.

“Kalau saya pergi ke perkemahan itu,” kata Percy, “akankah ingatan saya kembali?”

“Pada akhirnya,” ujar June, “tapi camkan ini baik-baik: kau akan mengorbankan banyak hal! Kau akan kehilangan tanda Achilles. Kau akan merasakan kepedihan, penderitaan, dan kehilangan yang lebih menyakitkan daripada yang pernah kau alami. Tapi kau mungkin saja akan memperoleh peluang untuk menyelamatkan teman lama dan keluargamu, untuk mendapatkan kembali kehidupanmu yang dulu.”

Kedua Gorgon berputar-putar tepat di atas. Mereka barangkali sedang mengamati si wanita tua, tengah menebak-nebak siapakah pemain baru tersebut sebelum mereka menyerang.

“Bagaimana dengan kedua penjaga di pintu itu?” Tanya Percy.

June tersenyum. “Oh, mereka pasti mengizinkanmu masuk. Kau bisa memercayai dua anak itu. Jadi, apa keputusanmu? Akankah kau menolong seorang wanita tua tak berdaya?”

Percy ragu June tidak berdaya. Kemungkinan terburuk, ini adalah jebakan. Kemungkinan terbaik, semacam ujian.

Percy benci ujian. Sejak kehilangan ingatan, seluruh hidup Percy bagaikan lembar jawaban yang bolong-bolong. Dia adalah seorang ____________________, dari ____________________. Dia merasa ____________________, dan andaikan monster menangkapnya, dia pasti ____________________.

Lihat selengkapnya