Misuzu tidak percaya Dewa itu ada. Sejak usia sepuluh tahun dia selalu disuguhkan kisah-kisah mengharukan para Dewa, tapi apa yang dia alami seumur hidup tidak akan membuatnya percaya pada Dewa.
Kuil-kuil yang dia lewati ketika pulang sekolah hanyalah bangunan kuno yang norak. Mereka mengumpulkan orang-orang untuk menyembah kehampaan. Misuzu ingat ketika berusia tujuh belas tahun, dia mengambil surat ramalan nasib. Dia mendapat nasib bagus, sekolahnya akan lancar, dia mendapat kekasih yang perhatian, keluarga yang amat baik, juga karirnya kelak akan cemerlang. Namun, semua itu bohong.
Apanya yang nasib bagus? Selama dua puluh empat tahun, Misuzu selalu tertimpa kemalangan. Jangankan karir cemerlang, sekolah saja dia terputus tengah jalan karena biaya. Lelaki yang disebut ayah telah meninggalkan dia dan ibunya sepuluh tahun lalu. Kemudian, ibu yang menjadi satu-satu sandaran telah mati. Bahkan pekerjaan Misuzu sebagai pelayan toko harus lenyap karena tokonya bangkrut. Dia tidak bisa melanjutkan pendidikan, gagal mendapat beasiswa, dan sekarang dia adalah pengangguran.
Hanya tersisa perempuan lesu yang menyedihkan, terduduk di sudut kamar kumuh. Bau apek menggelayut di udara. Cahaya matahari tertutup gorden hijau tua yang berdebu. Kamarnya tidak bisa disebut kamar perempuan. Sangat berantakan dengan sisa-sisa cup makanan instan di sisi futon jelek yang tipis. Yang bisa dipandangi hanya meja belajar kayu tua, juga lemari pakaian yang hampir ringsek. Sekarang tidak ada lagi yang bisa dia makan. Persediaan makanan selama dua minggu telah habis. Dia tidak punya pekerjaan, tidak ada uang, dan sekarang kelaparan.
"Tidak apa-apa. Pasti suatu saat akan dapat pekerjaan lagi. Semuanya akan baik-baik saja. Aku hanya butuh menunggu sampai hari-hari ini berlalu. Kemalangan ini pasti akan berakhir."
Misuzu mendongak, menatap langit-langit kamar yang dipenuhi sisa rembesan hujan. Dia berkhayal, mungkin ada orang baik yang muncul dari langit-langit itu lalu memberikannya banyak uang, berkhayal kalau semua kemalangan ini cuma mimpi, dan dirinya sedang tertidur lelap di kamar yang mewah. Akan tetapi, semua khayalan itu hanya sekadar khayalan.
Tidak ada orang yang muncul dari langit-langit. Tidak ada tidur lelap di kamar mewah atau makanan enak yang telah tersaji di meja makan.
Hidup yang brengsek, Dewa yang brengsek, dan ramalan brengsek.
Kemudian, Misuzu memejamkan mata berniat mengistirahatkan dirinya yang mulai putus asa. Sekelebat pikiran gila melintas, dia ingin bunuh diri.
Misuzu berpikir bunuh diri akan sangat menyakitkan di awal, tapi seluruh bebannya akan lenyap. Benar, mungkin kemalangan ini akan lenyap kalau dia mati. Lalu, dia bisa bertemu Dewa bodoh yang memberinya kemalangan, memaki Dewa habis-habisan hingga semua penderitaannya bisa terbayarkan.
"Jadi, kau ingin memaki Dewa?"
Tiba-tiba Misuzu mendengar suara lelaki, tapi dia berusaha abai. Mungkin hanya halusinasinya yang sedang kelaparan.
"Huh? Kau lapar? Mau makanan yang enak?"
Suara itu lagi. Misuzu berusaha menutup kepala dengan bantal, tapi suara aneh itu tidak mau hilang dan makin dekat.
"Aku bisa memberikan semua yang kau mau dari Dewa, loh."
Cukup! Misuzu terbangun, bersiap memaki diri sendiri yang berhalusinasi berlebihan. Akan tetapi, ketika membuka mata, Misuzu terkesiap melihat seorang lelaki berpakaian yukata berdiri di ambang pintu. Dia mengamati keseluruhan lelaki itu, dari atas hingga ujung kaki. Rambut hitam lurus sepunggung dengan anak rambut menutupi sebagian wajah, lalu iris merah menyala yang mengingatkan Misuzu pada anjing-anjing setan di film.
Tunggu, bagaimana bisa orang ini masuk ke rumahnya? Misuzu sangat ingat dia telah mengunci rumah dengan benar. Terlebih, orang ini seperti sedang melakukan cosplay karakter di game-game.
"Terkejut melihatku?" Lelaki itu tersenyum sambil memiringkan kepala.
Misuzu tidak bisa mengatakan apa pun. Otaknya bertanya-tanya siapa orang ini dan bagaimana bisa berada di sini.
Seolah bisa membaca pikiran Misuzu, lelaki itu berucap lagi. "Namaku Riku, iblis yang bisa mengabulkan semua permintaanmu."
Misuzu tercengang. Dia menampar wajahnya beberapa kali sampai merasa kesakitan. Dia merasakan sakit, itu tandanya ini bukan mimpi atau halusinasi. Hal itu dibuktikan ketika lelaki asing itu mendekat, lalu menyentuh lengannya.
"Ya ampun, kau kurus sekali. Mau makan makanan enak yang kau idamkan itu?"
Tanpa sadar Misuzu mengangguk. Perutnya lapar, lalu ada orang yang menawari makanan enak—walau tidak dikenal, tapi tampangnya terlihat baik.
Lalu, Misuzu tidak ingat kejadian setelah itu, tapi telah tersaji berbagai jenis makanan enak di meja makannya.
***
"Jadi, apa yang kau inginkan?" Riku memandang Misuzu penuh harap. Aura misterius terpancar dari wajah rupawan, juga tatapan nan tajam.
Misuzu mengernyit. Dia melahap potongan daging terakhir sebelum akhirnya berpikir. "Yang aku inginkan?"
Riku mengangguk bersemangat. "Yap, yang kau inginkan. Seperti yang aku lihat. Hidupmu menderita, kehilangan pekerjaan, hidup tanpa orang tua. Nah, pasti banyak sekali yang kau inginkan, kan?"
"Kau sungguh-sungguh bisa memberikan apa saja?"
Riku mengangguk. "Apa saja."
Misuzu berpikir orang ini memang benar. Ada banyak sekali yang dia inginkan, tapi ... rasanya Misuzu merasa tidak pantas meminta.
"Aku punya pertanyaan."
Riku mengernyit. "Katakan saja."
"Apa orang yang meninggal akan mengalami reinkarnasi?"
"Eh?" Riku terkejut mendengar pertanyaan Misuzu. Air wajah perempuan itu berubah sedih dan Riku tahu alasannya. "Memangnya, kau ingin mati?"
Misuzu mengangguk. "Rasanya percuma meminta hal-hal yang kuinginkan di kehidupan ini. Jadi, kalau bisa meminta mati, lalu bereinkarnasi ...."
"Aku tidak bisa mengabulkan kematian." Riku memotong cepat. Mana mungkin dia mengabulkan keinginan mati seseorang yang akan diambil jiwanya sebagai bayaran? Itu tidak masuk akal!
"Kenapa?"
"Errr ... itu ...." Riku menggaruk kepala belakangnya yang tak gatal, bingung mencari alasan.
"Katanya kau bisa mengabulkan apa saja?"
"Itu benar. Aku bisa mengabulkan semua yang diminati manusia di dunia, tapi kalau kematian .... Lagipula, kenapa kau meminta kematian? Padahal kau bisa hidup enak, aku bisa mengabulkannya."
"Percuma saja." Misuzu menghela napas. Dia bangkit lalu berjalan menuju kamar. "Sudahlah, abaikan saja. Aku tidak punya keinginan apa pun selain mati. Pergilah, aku mau tidur."
"Hei, tidak bisa begitu, dong!" Riku bangkit seraya menggebrak meja. Dia menyusul Misuzu cepat-cepat. Apa-apaan manusia ini? Kebanyakan manusia akan meminta kekayaan, rumah yang bagus, atau karir cemerlang. Akan tetapi, manusia ini malah meminta kematian?
"Memangnya kau tidak ingin merasakan kenikmatan di kehidupan ini, huh? Manusia yang bereinkarnasi adalah manusia yang masih punya penyesalan, karena itu—" Tiba-tiba Riku menghentikan ucapannya sendiri. Sial. Dia keceplosan.