Aluna duduk di sudut kelas, matanya menatap kosong ke jendela, memandangi hujan yang turun dengan deras. Suara tetesan air yang membentur kaca seolah menjadi irama yang mengiringi pikirannya. Hari ini, seperti biasa, ia merasa lelah. Lelah dengan semua yang ada di hidupnya, lelah dengan tuntutan-tuntutan yang tidak pernah berhenti, dan lelah dengan dirinya sendiri.
“Lun! Lo dengerin gue ngga sih?” Teriakan teman sekelasnya, Clara, membuat Aluna terlonjak. Ia mengalihkan pandangannya dari jendela ke depan, ke arah Clara yang sedang menatapnya dengan kesal.
“Eh? Maaf, Ra. Lagi... ngelamun,” jawab Aluna sambil sedikit mengangkat bahu.
“Yang bener aja deh, Lun! Kalau lagi di kelas, jangan ngelamun gitu dong! Lo bisa aja dipanggil guru!” Clara berbicara dengan nada yang lebih rendah, tapi tetap ada nada mencerca di sana. Aluna hanya mengangguk pelan, tidak tahu harus berkata apa.
Clara memang sering begitu. Sejak dulu, ia selalu cepat merasa tersinggung kalau temannya tidak memberi perhatian penuh. Tapi yang lebih menyakitkan adalah, Aluna tidak bisa berbuat apa-apa. Teman-temannya memang sudah terbiasa menganggapnya berbeda. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di rumahnya.
Di rumah, Aluna selalu merasa seperti menjadi bayangan. Ayahnya yang perfeksionis, yang setiap kali berbicara selalu berbicara tentang kesempurnaan. Ibunya? Tidak jauh beda, selalu sibuk dengan pekerjaan, jarang ada waktu untuk sekadar mendengarnya. Setiap hari adalah hari yang penuh dengan tekanan.
"Aluna!" suara keras ayahnya memecah keheningan ruang tamu. Aluna buru-buru keluar dari kamar, bergegas menghampiri ayahnya yang sedang berdiri di depan meja makan, menatapnya dengan tajam.
“Ada apa, Pa?” tanya Aluna dengan nada hati-hati, meski di dalam hati ia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi.
Ayahnya memandangnya dengan serius. "Kenapa nilai matematika kamu jelek? Apa kamu tidak bisa fokus? Papa ngga pernah meminta banyak dari kamu, tapi kenapa malah seperti ini?"
Aluna menelan ludah. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia tahu betul, apa yang diinginkan ayahnya. Kesempurnaan. Tidak ada yang kurang. Tapi sepertinya itu mustahil baginya.
"Maaf, Pa. Luna akan berusaha lebih baik lagi," jawabnya pelan.
"Lebih baik? Apa itu cukup?" Ayahnya berkata dingin, seolah apa yang dikatakan Aluna tidak berarti apa-apa. "Kamu harus lebih keras lagi. Kalau tidak, kita semua akan malu. Papa ngga bisa terus melihat kamu seperti ini."
Aluna menundukkan kepala, menahan air mata yang hampir jatuh. Tidak ada yang mengerti. Tidak ada yang peduli. Semua orang hanya menginginkan kesempurnaan, tidak peduli apakah ia sudah berusaha atau tidak.
Ketika ia kembali ke kamarnya, rasa sakit di dadanya semakin kuat. Itu bukan hanya karena hinaan dari ayahnya, tapi juga karena ia tahu, ibunya bahkan tidak akan peduli. Ibunya terlalu sibuk bekerja, tidak pernah ada waktu untuknya. Setiap kali ia mencoba berbicara, ibunya hanya tersenyum tipis dan melanjutkan pekerjaannya.
"Sabar, Luna. Sabar," Aluna berbisik pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan hati yang bergejolak.
Namun, kenyataan tak seindah harapan. Di sekolah, ia juga tak jauh dari masalah. Beberapa teman sering mengolok-oloknya, mengatakan bahwa ia terlalu serius dan terlalu sering terlihat murung. Bahkan, Clara, yang seharusnya menjadi teman nya, tidak jarang melontarkan sindiran pedas.
"Lo itu kenapa sih, Lun? Kapan sih lo bisa ketawa kayak orang normal?" Clara bertanya sambil melirik dengan tatapan sinis.
Aluna hanya terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ya, ia memang sering terlihat serius, bahkan kalau bisa, ia akan lebih suka menghindari keramaian. Bagi Aluna, dunia terasa seperti tempat yang penuh tuntutan dan ketidakpastian, dan ia merasa tidak pernah bisa memenuhi harapan orang-orang di sekitarnya.
"Lo ngga usah berusaha banget buat jadi orang yang berbeda. Mending lo jadi diri lo aja, Luna," Citra berbicara seperti itu, seakan ia punya hak untuk memberi nasihat. Namun, bagi Aluna, itu hanya sekadar kata-kata kosong.