The Soulmate's Sanctuary

Raihana Alma
Chapter #2

Chapter 2

Keesokan harinya, kelas Aluna kedatangan seorang siswa baru. Suasana yang biasanya monoton kini berubah ketika wali kelas masuk, diikuti oleh seorang cowok bertubuh tinggi dengan rambut hitam legamnya.

“Anak-anak, kita kedatangan teman baru di kelas ini. Silakan perkenalkan diri kamu,” kata Bu Santi, guru wali kelas mereka.

Cowok itu berdiri di depan kelas, memasukkan tangannya ke saku celana sambil memandang lurus ke depan dengan ekspresi datar.

“Nama gue Galiandra Mahendra. Panggil aja Gali.”

Perkenalannya singkat, tanpa senyum, bahkan nadanya terdengar malas. Anak-anak di kelas mulai berbisik-bisik, menilai sosok baru itu. Beberapa siswi di kelas langsung terlihat penasaran, tapi Gali tidak memedulikan mereka.

Aluna hanya duduk di tempatnya, matanya tetap tertuju pada buku catatan, meskipun telinganya mendengar semuanya. Tidak ada yang menarik perhatiannya dari siswa baru itu. Namun, pandangan Gali tiba-tiba beralih ke arah Aluna yang duduk di dekat jendela. Mereka bertatapan selama beberapa detik sebelum Aluna buru-buru menundukkan kepala.

“Gali, kamu bisa duduk di belakang, di kursi yang kosong itu,” kata Bu Santi sambil menunjuk bangku yang kebetulan terletak di belakang Aluna. Tanpa sepatah kata, Gali berjalan ke arah bangkunya dan duduk.

Hari itu berlalu seperti biasa bagi Aluna. Pelajaran terasa membosankan, Clara terus sibuk menyindir kebiasaan Aluna yang sering melamun, dan hujan yang tiba-tiba turun di siang hari membuat suasana hatinya semakin tenggelam. Namun, ada hal baru yang ia sadari—siswa baru bernama Gali. Sepanjang pelajaran, Aluna merasa seolah-olah Gali mengamatinya dari belakang. Setiap kali ia menoleh sedikit, Gali selalu terlihat sedang menatap ke arah lain, seolah-olah tidak ada apa-apa.

"Kenapa dia kayak gitu, ya?" gumam Aluna dalam hati. Tapi ia mengabaikannya, merasa tidak ada gunanya memikirkan seseorang yang baru saja ia temui.

Setelah pulang sekolah, Aluna membuka pintu rumah dengan pelan, berharap tidak menarik perhatian ayahnya. Namun, harapannya pupus ketika ia mendengar suara berat dari ruang tamu.

"Aluna! Ke sini sebentar!" panggil ayahnya. Nada suaranya tegas, seperti biasanya.

Aluna melepas sepatunya dengan enggan dan berjalan ke ruang tamu. Ayahnya sudah duduk di sofa, memegang secarik kertas yang segera ia kenali sebagai hasil ulangan matematika minggu lalu.

"Apa ini?" tanya ayahnya, suaranya lebih pelan tetapi penuh tekanan. "Kamu benar-benar ngga serius, ya? Papa capek ngomongin ini terus."

"Maaf, Pa. Luna udah belajar, tapi soalnya susah..." jawab Aluna pelan, mencoba membela dirinya.

"Alasan terus! Papa ngga butuh alasan. Kamu itu harusnya belajar lebih keras! Kamu pikir dengan nilai kayak gini kamu bisa masuk universitas bagus? Papa kerja keras untuk apa, kalau kamu cuma buang-buang kesempatan!"

Kata-kata ayahnya menohok tajam, seperti biasanya. Aluna hanya menunduk, tidak berani menatap wajah ayahnya.

Lihat selengkapnya