Potongan-potongan tentang kenangan masa kecilnya terputar secara acak di dalam ingatan Andro. Meskipun samar-samar untuk kembali mengingatnya secara jelas, Andro tahu ia tidak boleh melupakan yang satu itu. Saat pertama kalinya, Andro pergi ke pameran lukisan di Jogja bersama Ayahnya. Bahkan waktu itu ia belum genap berumur sepuluh tahun. Andro kecil tidak tahu apa yang indah dari sebuah goresan warna-warni di atas hamparan canvas putih. Tentang bagaimana cara menikmati gambar-gambar bangun yang tersusun secara acak. Andro kecil benar-benar tak habis pikir. Saat itu Ayah hanya berkata sambil mengelus puncak kepala Andro, suatu saat kamu pasti akan mengerti.
Ayah bilang, karya seni itu adalah sebuah bentuk kebebasan. Makna yang sama seperti Andro yang bebas bermain bola di lapangan, bebas mengendarai sepeda sejauh mungkin. Lelaki kecil berkaus garis-garis itu mengangguk seolah paham apa yang Ayah katakan. Mereka kembali mengitari galeri dengan wajah sumringah. Andro barangkali memang tidak sepenuhnya paham. Mengapa orang-orang ini berada di ruangan yang sama dengan dirinya hanya untuk melihat gambar-gambar ‘aneh’. Namun, satu hal yang Andro tahu, itulah pertama kalinya ia terhubung dengan lukisan, seni, dan apapun itu.
Andro suka menggambar. Apapun. Ia bertekad dalam hatinya untuk menjadi seorang seniman. Cita-cita asing di antara teman sepantaran Andro. Perasaan yang sama saat pertama kali ia menjuarai lomba lukis se-kota. Saking bangganya, Ayah langsung membelikan Andro seperangkat alat lukis mahal yang selama ini Ayah janjikan. Mimpi Andro semakin bulat. Bahkan saat Andro memutuskan untuk masuk jurusan Seni Rupa, ia tahu kali ini ia benar-benar serius dengan ucapannya.
Tahun-tahun pertama ia lewati dengan suka cita, sampai ia merasakan menjadi mahasiswa akhir dengan penuh duka. Kini Andro tahu, ternyata mimpi tidak semudah itu untuk ditaklukkan.
***
Pagi tadi di tengah jalan, mobil Andro hampir saja menabrak kucing kampung warna parmesan. Firasat Andro mengatakan sebuah kemalangan akan menimpanya hari ini. Ya, seperti yang sudah-sudah. Saat cangkir kopinya retak di pagi hari, setelah ia sampai kampus ia baru saja dikabari bahwa proposal skripsinya baru saja di tolak. Tetapi siapa peduli? Toh, itu hanya firasat. Firasat yang biasanya benar. Andro menggerutu dalam hati.
Mobil Andro terparkir di halaman galeri—tempat magangnya kini, tiga puluh menit lebih lama dari waktu yang seharusnya. Benar-benar tidak dapat dipercaya, ia terlambat di hari pertama ia masuk magang. Andro ingin rasanya di tenggelamkan saja lalu dimakan bayi ikan hiu.
“Selamat siang Mas Andro. Pintu keluar sebelah sana!” sambut Citta, teman kampusnya yang juga magang disitu.
“Tau gak, Ta, tadi gue habis nabrak kucing di jalan, gedhe banget kepalanya.” Andro mengulang apa yang tadi di alaminya di jalan dengan lebih dramatis.
Citta yang sudah hapal dengan tingkah Andro hanya menggelengkan kepalanya. Lelaki yang satu itu memang tidak pernah melewatkan satu hari tanpa tidak terlambat. Jika ada perlombaan terlambat sedunia, Citta yakin Andro pasti akan menduduki podium pertama.
“Cukup-cukup mending simpen karangan lo di depan Pak Nara. Lo udah di tungguin di ruangannya.”
Pak Nara. Kepala Galeri. Kata-kata itu terdengar menyeramkan. Andro menenggelamkan kepalanya di balik topinya. Seharusnya ia tahu ia tidak boleh melupakan pertanda. Hari ini ia akan mati. Berkali-kali.
Setelah di perbolehkan masuk, Andro hati-hati duduk di kursi bergadapan dengan Pak Nara. Rasa-rasanya ia sedang duduk di kursi pengadilan. Siap untuk dijatuhi hukuman pancung atau seumur hidup.