Seumur hidup, Rana hampir tidak pernah menjadi penentu keputusan dalam hidupnya sendiri. Selalu saja ada orang lain di balik hal-hal yang terjadi di hidup Ranaya Karnadi Putri. Membawa nama besar Ayahnya sebagai seorang redaktur senior di sebuah kantor berita ternama di Indonesia. Rana seperti hidup dalam bayang-bayang Ayahnya. Barangkali ini juga menjadi sebuah hal baik, Rana hampir bisa mendapatkan semuanya yang ia mau. Tetapi bolehkah ia meminta satu hal pada Tuhan? Ia hanya ingin merasakan kebebasan.
Rana masih ingat pada saat ia berumur tujuh tahun. Saat itu ia dibawa oleh Ayahnya menghadiri sebuah perayaan ulang tahun kantor berita itu di sebuah villa di Puncak. Begitu banyak tokoh-tokoh penting hadir di sana. Sekali lagi Rana masih ingat, saat itu ia mengenakan gaun warna ungu pendek selutut. Ia berdiri di samping Ayahnya. Dengan bangga, Ayahnya mengatakan di hadapan para koleganya.
“Kelak, Rana akan menjadi penerus Ayahnya menjadi jurnalis hebat.”
Kalimat itu diikuti tawa-tawa yang renyah semua orang. Saat itu Rana juga tertawa sambil memeluk Ayah. Tetapi Rana tidak tahu bahwa ternyata kata-kata itu seperti mantra. Mantra yang kelak berubah menjadi kenyataan.
Ketika Rana sudah cukup paham bahwa sesuatu tidak berjalan semestinya. Gadis itu ingin merubah sesuai keinginannya, tapi terlambat. Skenario yang dibangun sudah kelewat sempurna. Ia juga tidak mau mengagalkan harapan keluarganya hanya karena ego ABG yang ingin bebas.
“Rana tidak mau kuliah di luar negeri.”
Pertama kali ia mengungkapkan ketidaksetujuan dengan apa yang sudah di tulis oleh Ayahnya di kitab hidup Rana. Rana tidak menyangka Ayahnya akan mengabulkan permintaannya. Dengan syarat, ia harus kuliah di Jakarta dengan jurusan yang Ayahnya pilihkan. Satu hal yang mesti berjalan, Rana harus menjadi jurnalis. Titik.
***
Rana menerima ID Card sebagai tanda magang di kantor berita yang menjadi rekomendasi Ayahnya. Meskipun tidak terlalu besar, Ayahnya ingin membuat Rana belajar dari hal yang kecil. Tentu saja Rana menurut, apakah ia punya pilihan lain lagi.
“Selamat bergabung ya Rana,” ucap Pak Beno di hadapan para anggota redaksi, tim baru Rana selama magang ke depan.
Rana mengangguk dan tersenyum lebar senang bahwa ia diterima di tempat magangnya ini. Kelihatannya juga mereka semua orang baik-baik atau belum.
Rana kembali ke meja kerjanya. Membayangkan benda-benda apa yang nantinya akan ia letakkan di sana. Tangannya membentuk kotak selayaknya kamera yang sedang memotret. Ia akan menempatkan fotonya di sisi kiri, rak kecil di sudut kanan, dan sisi tengah untuk menempelkan berbagai sticky notesnya. Sempurna.