Seharusnya aku tahu apa yang akan terjadi bila orang lain mencampuri keputusanku akan hal paling krusial di hidupku. Bencana.
"Astaga, Odya!" Ibu memijat pangkal hidungnya sementara ayah menekuri kedua tangannya yang diletakkannya di atas meja yang entah kenapa sepertinya terlihat lebih menarik sekarang daripada wajah anak dan istrinya yang duduk di hadapannya. Sesekali ayah juga mengetuk-ngetukkan kesepuluh jarinya di meja. Kemudian memijat-mijat dahinya dengan gerakan gelisah.
"Ini baru tahun keempat..."
"Justru itu, Bu." potongku. "Odya pikir keputusan ini harus diambil sebelum semuanya telanjur parah."
"Parah? Parah gimana maksud kamu, hah?" Ibu mulai menghardik dengan tidak sabar.
"Sebentar dulu. Odya mau ngomong..."
"Kamu sekalinya ngomong malah bikin hancur suasana makan malam hari ini. Setelah kamu diijinin ngomong lagi, apa yang mau kamu hancurin?" Ibu berkata dengan sinis. Aku melipat bibir kemudian menggigitinya dengan gelisah. Dalam hati aku merapal kata maaf tapi tak sanggup kusampaikan karena buat kedua orang tuaku ribuan permintaan maaf dariku sudah tidak berguna.
Ibu mungkin benar aku sudah menghancurkan hati ibu dan ayah juga keluarga besar suamiku. Aku juga sudah pasti akan menghancurkan nama baik ayah dan ibu. Tapi jauh di dalam sini, di dalam hati dan kepalaku, aku jauh lebih hancur. Hanya saja aku tak pernah berterus terang pada mereka yang sebenarnya.
"Bu." Ayah memberi tatapan sudahlah-beri-anakmu-kesempatan-bicara-nanti-baru-kita-sleding-kepalanya pada ibu dengan pandangan lelah.
Ibu akhirnya mengalah. Ibu diam. Menungguku bicara.
"Odya nggak mau menyakiti siapapun, Yah, Bu."
"Lalu kamu pikir ucapan kamu barusan nggak menyakiti perasaan kedua orang tuamu ini? Hah?" Ibu histeris lagi. Aku buru-buru mengamankan piring, sendok, dan garpu bekas makan ibu tadi yang masih ada di atas meja sebelum dilemparkannya ke arahku.
"Bu, tolong sabar sedikit." Ayah jadi penengah yang baik kali ini. Tapi kutahu ayah akan meledak belakangan. Biasanya. Entah untuk kali ini. Ledakan amarah ayah bukan yang seperti gunung berapi. Langsung memuntahkan lahar dan material vulkanik lalu selesai. Tidak. Ledakan amarah ayah lebih seperti gempa tektonik. Tetap dengan pembawaan tenang tapi mematikan karena membawa bencana-bencana lain; gunung meletus, tsunami, banjir, dan sebagainya serta membawa efek porak-poranda bagi yang terkena imbasnya.