Aku penasaran kenapa perempuan di usia yang sudah matang selalu diberondong dengan pertanyaan kapan menikah seolah itu adalah setelan default di setiap mulut manusia tatkala melihat perempuan masih melajang di usia kepala tiga. Apakah menikah selalu menjadi tujuan semua perempuan? Apakah dengan menikah segala sesuatu jadi lebih mudah? Apakah menjadi perempuan mandiri adalah sebuah dosa besar? Apakah perempuan itu benar-benar dianggap lemah sehingga tanpa adanya pernikahan dengan laki-laki ia tidak bisa melakukan apa-apa? Kenapa tidak ada seorang pun yang bertanya apa tujuan hidup orang lain alih-alih ditanya kapan menikah? Memangnya semua orang mau menikah? Memangnya sudah pasti tujuan semua orang adalah menikah? Tentu tidak kan. Tapi hal itulah yang kini terjadi padaku.
"Memangnya kamu mau menunggu sampai umur berapa sih, Da, buat menikah?" tanya ibu gemas.
"Kamu nggak liat sepupu-sepupumu yang umurnya jauh di bawah kamu sudah pada menikah dan punya anak? Kamu nggak pengen kayak gitu?"
Aku masih tak acuh dengan perkataan ibu dan terus lanjut sibuk dengan ponsel padahal aku hanya menggulir menu utamanya saja sedari tadi.
"ODYAAA!!" Ibu mulai murka. Dia merebut ponselku dan bertingkah seperti hendak meremasnya. Untung ibu bukan Thanos sehingga ponselku tidak hancur di tangannya.
"Kamu itu mbok ya belajar menghargai orang tua gitu lho. Orang tua lagi ngomong kok kamu cuek aja. Nggak ada sopan santunnya!" tegur ibu dengan nada tinggi.
Aku pura-pura menundukkan kepala seolah merasa bersalah padahal dalam hati aku berharap ibu berhenti. Kupingku sudah sakit dari tadi.
"ODYAAA!!"
"Eh, iya iya, Bu." Aku terlonjak kaget.
"Kok nggak jawab?" hardik ibu.
"Lah, nanti kalo Odya jawab disalahin lagi," elakku.
"Ngeles aja kamu bisanya."
Nah kan.
"Ibu tuh ngasih tau kamu yang bener. Mbok ya didengerin gitu lho."
"Odya denger, Bu. Odya juga udah ngerti, udah paham, udah nyantol senyantol-nyantolnya, bahkan udah nglothok saking seringnya Ibu ngomong kayak gitu tiap hari. Gimana Odya nggak hapal?"
"Nah, terus?"
"Ya nggak ada terusannya, Bu, wong hilal jodohnya juga belum keliatan. Daripada diomongin terus mending Ibu doain Odya aja biar cepet dapet jodoh," kilahku.
"Oalah, Da, Da. Ibu itu tiap hari doain kamu terus biar kamu cepet nikah. Lha, siapa lagi yang mau Ibu doakan dapet jodoh kalo bukan kamu. Wong kamu anak ibu satu-satunya. Masa ayah kamu?" kata ibu.
Aku nyaris saja terkekeh geli dan menyahut usil andaikan tidak ingat bahwa ibu sedang dalam mode berserk, yang kalau saja aku nekat tetap usil menyahut bisa-bisa membuatku kehilangan status sebagai anak di keluarga ini yang berarti hilangnya statusku sebagai ahli waris juga.