The Sparks

Gie Salindri
Chapter #3

#3

"Yanuar Kusala," katanya sambil mengacungkan tangan.

Aku menjabat tangannya seraya menyahut, "Ayodya Pala."

"Kayak nama-nama di serial kerajaan gitu," kelakarnya yang kutanggapi dengan senyuman. Aku memang sudah sering mendengar teman-temanku berkomentar begitu ketika mendengar namaku. Aku tidak perlu tersinggung. Itu juga bukan kelakar yang menyakitkan. Kenyataannya memang ayah dan ibuku pecinta drama kolosal sehingga mereka menamaiku demikian. Lagipula kata mereka Ayodya punya arti bagus: tidak kalah dalam peperangan. Mungkin mereka berharap aku akan menjadi orang yang kuat, tegar, dan berambisi untuk masa depan yang lebih baik. Ya, tidak heran sih kalau aku masih melajang di usia tiga puluh dua. Mungkin ini berkat doa dalam nama itu juga.

"Sudah lama nunggu?" tanyanya. 

Aku menggeleng. "Pas kamu chat aku dan bilang kalo kamu masih ada kerjaan aku sengaja berangkat agak telat."

"Ah, syukurlah kalo gitu." Dia tampak lega. "Aku nggak enak soalnya karena tadi molornya sampe dua jam kalo sesuai dengan janji kita kemaren."

Aku mengedikkan bahu. "Nggak masalah."

"Udah pesen makan?" tanyanya lagi sambil membuka-buka buku menu yang diletakkan di atas meja.

Aku mengangguk. Pria itupun lalu memilih menu dengan cepat dan memanggil pelayan setelahnya.

"Emangnya kamu nggak libur kalo weekend?" tanyaku begitu si pelayan berlalu dari meja kami.

"Secara tertulis sih harusnya libur tapi ya kadang hal-hal kayak gini bisa aja terjadi sih terutama pas akhir bulan," sahutnya enteng.

"Dapet lembur?" Aku mulai kepo.

"Nggak lah." Dia tertawa. Ada lesung pipi di pipi kanannya yang membuatku baru merasa bahwa pria di depanku ini cukup good looking.

"Kok gitu?"

"Katanya sih itu namanya menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai. Entahlah, aku juga nggak ngerti sama sistem perusahaan." Dia mengedikkan bahu.

"Aku pikir kerja di bank itu enak. Pake seragam, keliatan keren, berkelas, gaji gede..."

Pria di depanku itu tertawa. Lagi-lagi lesung pipinya mengalihkan duniaku. Manis sekali.

"Setiap kerjaan pasti ada plus minusnya lah. Mungkin buat sebagian besar orang di luar sana yang nggak tau kerja di bank kayak apa liat kita-kita yang kerja di bank ya kayak yang kamu bilang tadi. Keren, berkelas, gaji gede. Memang ada benarnya juga sih asal mau usaha keras memenuhi target," terangnya. Aku mengangguk-angguk.

"Dulu aku pernah ditawari kerja di bank juga sama saudara tapi aku tolak. Aku nggak suka kerja yang ada targetnya. Pasti bikin nggak bisa tidur."

Dia tertawa. "Segitunya sampe nggak bisa tidur."

"Serius. Dulu waktu aku ngerjain skripsi aja sampe kebawa mimpi." Aku mengaduk-aduk gula dalam gelas es tehku lalu menyesapnya sedikit.

"Kamu sendiri gimana jadi guru honorer?" tanyanya. Aku tersedak. Entah kenapa pertanyaan itu terasa terdengar merendahkan. Mungkin karena pekerjaan kami terlampau jauh berbeda bak bumi dan langit.

"Kamu nggak papa?" tanyanya khawatir melihatku terbatuk-batuk.

"Nggak papa kok." Aku minum lagi untuk meredakan batuk. "Keselek."

Lihat selengkapnya