Romansa bukan nama tengahku. Tak heran kalau aku tidak familiar dengan perasaan berbeda yang kurasakan saat bersama Sala. Oh, aku pernah pacaran-- tentu saja. Tapi jumlah mantan pacarku tak lebih dari jumlah seluruh jari pada satu tangan. Dua. Tepatnya hanya dua kali aku berpacaran: saat aku masih SD dan SMP. Yah, itupun kalau masuk hitungan. Jangan ditanya bagaimana pacaran ala anak SD dan SMP. Tentu saja hanya sebatas suka malu-malu. Boro-boro pembicaraan serius mengenai masa depan, aku paling banter ngobrol dengan pacarku-- eh, maaf, maksudku mantan pacar-- saat di kelas atau di kantin. Oleh sebab itu, aku bingung bagaimana mendefinisikan debaran yang kurasakan saat bersama Sala.
"Gimana kencannya?" tanya ibuku kepo.
Aku tak langsung menjawab. Aku justru mengambil secentong nasi goreng yang masih mengepul dan kupindahkan ke piringku lalu mulai memakannya.
"ODYAAA!!" hardik ibu dengan tak sabar.
"Sabar, Bu, Odya kan lagi ngunyah," sahutku kurang ajar. Meski begitu ibu tetap saja menunggu.
"Semalem kamu pulang jam berapa?" tanya ibu. "Ibu semalem ngantuk banget gara-gara malem sebelumnya begadang nonton drakor jadinya Ibu tidur cepet."
Ah, iya. Ibuku ini pecinta sinetron. Namun, akhir-akhir ini aku meracuninya dengan menonton drama Korea. Aku mengunduh beberapa serial drama Korea terbaru beberapa hari lalu dan membuatku kurang tidur karena begadang menontonnya. Ibu sempat menegurku gara-gara itu. Ibu tidak mau aku sampai melalaikan pekerjaanku karena kelelahan begadang. Ibu penasaran dengan alasanku sampai kurang tidur. Tak dinyana, kini justru ibu yang kurang tidur karena ketularan menonton drama Korea.
"Jam 9," jawabku. "Tapi lebih satu jam." Aku lalu terkekeh saat melihat pelototan ibu.
"Nggak, Bu, bener jam 9 kok. Ayah semalem juga masih melek kok. Eh, omong-omong ayah kemana?" Aku celingukan mencari ayah karena absennya di meja makan. Biasanya ayah akan ikut sarapan seperti biasa.
"Lagi nyoba jalan pagi katanya biar nggak penyakitan." Ibu juga ikut menyuap sesendok nasi goreng ke mulutnya.
"Alhamdulillah," kataku. "Ibu nggak ikutan juga? Kan biar mesra olahraga bareng," godaku.
"Lah, Ibu kan kerjaan di rumah banyak jadi nggak perlu olahraga lah," kilah ibu.
Aku mencibir. "Kerjaan banyak apaan coba?"
"Lah itu, nyuci baju, nyuci piring, nyiram tanaman, nyapu, ngepel..."
"Bu, Bu," potongku sebelum ibu melanjutkan, "yang ngerjain itu semua kan aku karena disuruh Ibu. Ibu paling cuma nyiram tanaman sekalian ngerumpi sama tetangga sebelah," ledekku.
"Aih, kamu kan ngerjain itu semua baru kemarin-kemarin. Sebelumnya yang ngerjain ya Ibu semua." Ibu tidak mau kalah.
"Makanya Ibu nyuruh kamu biar cepet nikah tuh biar kamu bisa tanggung jawab."