Jakarta, Juni 2008.
Setelah melalui tahun-tahun yang berat karena sudah dua kali tinggal kelas, Bara akhirnya berhasil menginjak kelas lima. Perjuangan belajar mati-matian yang senantiasa didampingi oleh Sang Ibu dan cambukan kata-kata pedas dari ayahnya setiap hari akhirnya membuahkan hasil. Dan kini, ia bertemu dengan seseorang yang pernah bernasib sama dengan dirinya.
“Kamu duduk disini saja.” Di tengah-tengah kebingungan Bara untuk mencari kursi di kelas barunya, tiba-tiba seorang anak kurus yang tingginya kurang lebih sama dengan Bara menawarkan bangku di sebelahnya.
“Oke makasih.” Jawab Bara singkat.
Belum selesai menunggu Bara duduk dan membereskan tasnya, anak ini langsung menjulurkan tangannya dan memperkenalkan diri.
“Halo, Aku Robin. Teman senasibmu bro. Hehehehe.”
Bara mengernyitkan keningnya. Seingat Bara, Ia tidak pernah mengenal anak ini. Bara bingung kenapa anak ini bisa dengan percaya diri mengatakan bahwa dirinya senasib dengannya.
“Aku Bara. Maksud kamu apa ya?”
“Ssst.. Aku denger-denger kamu juga pernah tinggal kelas kan ya? Makanya tadi aku datang pagi-pagi untuk tungguin kamu supaya kita bisa duduk bareng.hehehe.” Dan kini Robin berbicara sambil berbisik dibarengi dengan gaya sok akrabnya.
“Loh? Kamu tahu dari mana kalau aku pernah tinggal kelas?” Jawab Bara dengan nada yang mulai meninggi. Rasa malu dan marah bercampur aduk menjadi satu.
“Dari temen-temen sekelasku yang dulu. Aku juga udah dua tahun tinggal kelas. Ini sudah tahun kedua saya di kelas lima. Jadi waktu aku tinggal kelas kemarin, temen-temenku pada bilang kalau nanti aku bakal ditemenin sama kamu yang juga pernah tinggal kelas. Kamu itu terkenal tau.”
Bara mulai merasa tidak nyaman. Kabar dirinya pernah tinggal kelas rupanya menyebar ke seluruh penjuru sekolah dan bahkan dijadikan bahan pembicaraan anak-anak lainnya disini.
“Aku pindah kursi aja ya. Kayaknya di pojok kanan sana masih kosong.” Bara akhirnya mencoba untuk pindah kursi karena merasa tidak nyaman.
“Eh jangan dong.” Robin dengan spontan menahan tangan Bara dan membuatnya terkejut.
“Aku udah dikasih ultimatum sama Ayah. Kalau tahun ini tinggal kelas lagi, aku bakal tinggal di rumah paman dan bibiku di Palembang. Mereka itu galak banget dan aku gak mau pindah kesana. Kamu kemarin kan bisa berhasil naik kelas dan bahkan dapat peringkat sepuluh besar di kelas. Jadi sekarang aku mau belajar dari kamu gimana caranya supaya gak tinggal kelas lagi.” Bukan lagi dengan nada sok akrab, kali ini Robin berbicara dengan nada memohon kepada Bara.
Kata “Ayah” yang keluar dari mulut Robin seketika membuat Bara luluh. Ia merasa ada persamaan yang Ia dan Robin miliki. Ayah yang tega mengeksekusi anaknya karena sudah mempermalukan nama keluarga dengan tinggal kelas berkali-kali.
“Kenapa harus aku? Kenapa kamu gak temenan sama yang juara satu aja supaya kamu ketularan pinternya?” Kali ini Bara menjawab Robin dengan nada yang lebih bersahabat.
“Aduh, aku gak akan bisa ngikutin cara otak mereka bekerja. Dan dari tadi mereka semua kelihatan sekali sombongnya karena tahu kalau aku anak yang pernah tinggal kelas.”
Robin memang benar. Dari tadi anak-anak yang lain memandang Robin dan Bara dengan pandangan sinis. Mungkin mereka merasa bahwa kedua anak ini adalah pengaruh buruk yang harus mereka jauhi agar tidak ketularan virus ‘tinggal kelas’. Bara akhirnya mengurungkan niatnya untuk pindah kursi. Teman barunya yang satu ini sangat membutuhkan dukungan dari seseorang yang bisa memperlakukannya seperti murid yang normal, bukan seperti anak terbelakang yang harus dijauhi karena takut ketularan energi bodohnya.
Sejak hari itu Robin resmi menjadi teman dekat Bara. Pertemanan ini memang benar-benar mendatangkan pengaruh yang positif bagi mereka berdua. Robin datang ke rumah Bara setiap tiga kali seminggu untuk belajar dengan Ibu Bara, Nirmala.
“Wow, jadi Ibu kamu sampai berhenti kerja dari kantornya supaya bisa bantu kamu belajar Bar?”
Ini adalah hari pertama mereka belajar bersama. Sambil menunggu Nirmala bersiap-siap, Robin terkejut mendengar cerita dari Bara tentang betapa besarnya pengorbanan sang Ibu agar bisa berfokus membantu anaknya.
“Iya, soalnya dari dulu aku gak pernah cocok sama guru-guru les yang dipilih bapak. Ada yang terlalu galak, ada yang terlalu lembek, ada yang ngebosenin, dan ada yang terlalu sensitif. Kayaknya cuman Ibu deh satu-satunya orang yang bisa aku dengerin. Tapi dulu dia sering pulang kerja sampai malam, jadi gak punya cukup waktu untuk bantuin aku. Makanya dia sampai harus berhenti kerja.” Terdengar jelas nada bersalah dari suara Bara yang merasa bertanggung jawab karena telah membuat Ibunya sampai harus mengorbankan karirnya agar bisa fokus membantu anaknya yang memang agak unik ini.
“Wah aku jadi makin gak sabar pengen ketemu Ibumu. Emangnya dulu Ibumu kerjanya apa sampe sering pulang malam?” Robin merasa sangat kagum mendengar cerita Bara tentang Nirmala.
“Iya dong. Ibunya siapa dulu? Hahahaha. Dulu Ibuku itu Dokter. Jadi kadang harus lembur sampai malam kalau ada pasien emergency di rumah sakit.” Pujian Robin membuat Bara kembali merasa bersemangat disertai rasa bangga yang tiada tara.
“Woww.” Robin tak henti-hentinya merasa kagum akan Nirmala, sosok yang akan segera Ia temui sebentar lagi.
Tak lama kemudian pintu kamar Bara terbuka.