The Story of Water and Fire

Alvin Raja
Chapter #4

MUKA DUA

Jakarta, Juni 2009.

Setelah menikmati libur panjang selama hampir satu bulan, semua murid-murid kelas enam SD Fajar Jakarta Utara akhirnya kembali ke sekolah. Selama beberapa minggu terakhir, Bara dan Robin puas menghabiskan waktu liburan bersama. Meski baru berteman selama satu tahun, namun mereka berdua sudah saling mengenal satu sama lain. Bukan hanya teman atau sahabat, Bara sekarang sudah menganggap Robin sebagai keluarganya sendiri. Tumbuh sebagai anak yang penuh temperamen sejak kecil sempat membuat Bara sulit mendapatkan teman. Namun keberadaan Robin berhasil meruntuhkan opini Reinhard yang pernah mengatakan bahwa Bara tidak akan bisa bersahabat dengan siapapun.

“Anak-anak, Harap tenang ya. Ibu ada pengumuman penting.” Suara Ibu Fatimah yang nyaring itu seketika menghentikan suasana riuh di kelas yang penuh dengan ocehan para murid. Mereka semua sedang asyik memamerkan liburan mereka masing-masing.

“Hari ini kita akan kedatangan dua murid baru. Satu laki-laki, satu perempuan. Nanti tolong kalian temani mereka ya.”

Seketika seluruh ruangan kelas dipenuhi dengan suara yang riuh kembali karena mereka semua merasa sangat bersemangat akan kedatangan murid baru.

“Silahkan masuk nak.” Panggil Ibu Fatimah.

Tidak lama kemudian muncullah dua anak baru itu. Yang laki-laki terlihat lebih percaya diri sedangkan yang perempuan tampak agak malu-malu. Suasana kelas semakin meriah. Bagaimana tidak, wajah kedua murid baru ini memang sangat rupawan layaknya bintang film Hollywood. Sepanjang sejarah, murid-murid di kelas ini belum pernah bertemu dengan anak bule atau belasteran, sehingga kehadiran dua anak baru ini benar-benar memberikan warna yang baru bagi sekolah ini.

“Anak-anak, tolong jangan ribut ya. Mereka berdua mau memperkenalkan diri.” Suara nyaring Ibu Fatimah kembali membuat suasana kelas hening.

“Oke, kita mulai dari kamu ya.” Ucap Bu Fatimah sambil mempersilakan anak laki-laki itu memperkenalkan diri.

“Halo, temen-temen. Nama saya Andrew. Saya pindahan dari Surabhaya.” Spontan, anak-anak di kelas itu tertawa terbahak-bahak mendengar logat kental Jawa Surabaya keluar dari mulut Andrew yang penampilannya sangat western. Tanpa sadar Ibu Fatimah pun nyaris ikut tertawa. Namun Ia mendadak tersadar bahwa dirinya adalah guru yang seharusnya menegur murid-muridnya.

Bukannya merasa malu, Andrew malah ikut tertawa juga. Sebagian anak-anak yang melihat Andrew tertawa malah merasa bingung. Mereka merasa urat malu anak baru ini sepertinya sudah putus. Lain halnya dengan murid baru perempuan yang berdiri di sebelah Andrew. Ia terlihat sangat malu dan terus menunduk.

“Medok itu keren tau. Jangan diketawain dong temen-temen. Almarhumah Ibuku juga dari Surabaya drew. Berarti kita sodara jauh ya.” Robin tiba-tiba mencuri perhatian seluruh murid di kelas dengan gaya sok pahlawannya.

“Sodara jauh dari Hongkong? Kamu item dekil gitu kok gak malu ngaku sodaraan sama bule. Hahahaha.” Tono, salah satu murid di kelas mereka ikut berkomentar yang disambut gelak tawa seluruh kelas.

Bara yang merasa tidak terima melihat sahabatnya dipermalukan akhirnya bereaksi. Mendadak dia berdiri dan menunjukkan jarinya ke arah Tono dengan tatapan tajam penuh makna dan ancaman yang membuat mental Tono ciut seketika. Tono lupa bahwa Robin punya Bara yang siap menghabisi siapa saja yang tega mempermalukan sahabatnya. Semua murid di kelas langsung terdiam karena takut akan reaksi Bara. Tanpa kata-kata, Bara bisa membangkitkan rasa gentar seisi kelas, termasuk Ibu Fatimah.

“Anak-anak, kalian gak boleh begitu. Sudah-sudah. Silakan Andrew, kamu lanjutkan perkenalannya ya.” Ibu Fatimah yang menyadari situasi tegang di kelas mencoba kembali meredakan suasana dengan berfokus kepada dua murid baru ini.

“Oh masih toh bu? Tak pikir dah selesai?” Jawaban polos Andrew dengan logat Surabayanya kembali memecahkan suasana di kelas tersebut dengan gelak tawa. Bahkan Bara dan Robin kali ini juga ikut tertawa terbahak-bahak.

“Ya sudah kalau gitu kita langsung lanjut perkenalannya ke saudara kamu. Bisa perkenalkan dirimu nak? Yang lain tolong jangan ribut.” Tak ingin berlama-lama, Ibu Fatimah langsung beralih kepada seorang anak baru lainnya.

“Selamat Pagi. Nama saya Natalie Wijaya. Saya saudara kembar Andrew. Ayah kami dari Surabaya, Ibu kami dari Amerika. Kami berdua lahir dan besar di Surabaya. Kami pindah ke Jakarta karena Ayah kami sekarang bekerja disini. Semoga semua teman-teman disini mau menerima kami.” Di balik sosoknya yang terlihat sangat pemalu di awal, namun begitu Natalie berbicara, tidak ada seorangpun yang berani menertawakan dirinya. Meski logat jawanya masih terdengar di telinga, namun cara berbicara dan pembawaan Natalie sangat memikat perhatian siapapun yang mendengarnya. Pesonanya berhasil menyihir seluruh murid di kelas, termasuk Ibu Fatimah yang juga ikut terkagum melihat pesona siswi barunya itu.

“Wah, kalian saudara kembar? Tapi kok gak mirip ya? Eh ada sih sedikit, tapi gak mirip-mirip banget.” Komentar spontan dari Robin kembali memancing tawa seluruh murid-murid di kelas.

“Hahaha Iya, ada banyak yang bilang begitu. Tapi kami beneran saudara kembar kok ya.” Jawab Andrew.

Tidak lama kemudian Ibu Fatimah mempersilakan Andrew dan Natalie duduk. Kebetulan ada satu meja kosong tepat di belakang meja Robin dan Bara, sehingga akhirnya kedua murid baru ini duduk disana. Meja mereka terletak di pojok kiri kelas paling belakang. Robin dengan gaya supelnya langsung memperkenalkan diri dan menyalami mereka berdua, diikuti oleh Bara yang terlihat masih agak malu-malu.

“Ojo malu-malu sama kita yo.” Robin mencoba berbicara dengan logat Surabaya yang dipaksakan. Andrew, Natalie dan Bara spontan tertawa terbahak-bahak mendengar cara Robin berbicara. Hari itu menandakan awal persahabatan mereka berempat. Kini Bara tidak hanya memiliki Robin. Ia juga punya Andrew dan Natalie.

JAKARTA, 2017

Bara pulang ke kosnya dengan penuh amarah. Robin yang sedari tadi menunggu dan mencari keberadaan Bara merasa ketakutan melihat ekspresi sahabatnya yang baru tiba ini.

“Bar, kamu gak apa-apa? Kamu kok kelihatannya marah banget?” Robin bertanya dengan sangat hati-hati.

Bara lalu mencoba menarik nafasnya dalam-dalam . Setelah sedikit merasa tenang, Ia menjawab pertanyaan Robin.

“Jaket Merah itu. Jaket Limited Edition yang aku beli waktu liburan di Singapura dan aku kasih ke kamu pas awal tahun ini ada dimana? Jawab!” Ucap Bara dengan sedikit berteriak.

Robin semakin ketakutan. Ia hanya bisa menunduk sambil mencoba mencari-cari jawaban yang tepat untuk menanggapi amarah sahabatnya ini.

“Jaket itu, Hilang Bar.”

Lihat selengkapnya