“Jangan padamkan apinya. Nanti hilang semangatnya."
“Jangan bekukan hatinya. Nanti kamu akan kehilangan dia.”
Reinhard tidak akan pernah lupa pesan-pesan terakhir Nirmala, istrinya yang sangat Ia sayangi. Tak terasa sudah lima tahun berlalu, namun masih teringat jelas di ingatan bagaimana kekasih hatinya berusaha sekuat mungkin untuk menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya dan menyisakan kekuatan terakhir yang Ia miliki untuk mempersiapkan suaminya membesarkan kedua buah hati mereka seorang diri. Saat itu Putra mereka, Bara sudah menginjak umur 17 tahun dan Naara Si Bungsu masih berumur 12 tahun.
“Tenang saja sayangku. Mereka akan baik-baik saja. Aku akan pastikan itu. Sekarang kamu istirahat ya.” Reinhard mencoba sebisa mungkin menenangkan Nirmala.
Selang beberapa menit setelahnya, Sang Istri tercinta akhirnya benar-benar tertidur untuk selamanya.
Setengah dekade setelah Ibu Bara dan Naara meninggal dunia, Reinhard terduduk sendiri di rumahnya, memandang foto-foto lama dan mengenang indahnya saat dimana Nirmala dan kedua anaknya yang masih kecil berkumpul bersama. Tak terasa air matanya menetesi album foto tersebut.
“Andai saja aku benar-benar mendengarkan perkataanmu, aku yakin ini semua tidak akan terjadi. Maafkan aku Nirmala. Aku sudah gagal.” Isak tangis Reinhard semakin menjadi-jadi. Meski usianya kini sudah menginjak kepala lima, rasa sesak di dadanya membuat Reinhard tidak lagi peduli jika tetangga sekitar mendengarkan tangisannya yang terdengar sangat keras ke berbagai sudut rumah hingga tetangga sebelah.
1 TAHUN SEBELUMNYA...
Denting Piano diiringi suara indah Naara membuat suasana rumah terasa sangat menenteramkan. Mbak Iyem, pembantu rumah tangganya juga ikut bersenandung seolah-olah mengerti lagu A Thousand Years yang Naara nyanyikan dengan begitu merdu.
Namun Suasana tenang yang mereka nikmati berubah seketika pada saat Sang Ayah sampai di depan gerbang rumah dan menekan klakson mobilnya. Mbak Iyem langsung berlari dengan kencang dari dapur ke garasi depan dan Naara langsung buru-buru menutup pianonya . Naara dengan segera masuk ke kamar tidur dan mengambil bukunya untuk mengerjakan tugas sekolah.
Tak lama kemudian terdengar suara ayah yang mengomel karena Mba Iyem terlalu lama membukakan pintu gerbang.
Sebelum masuk kamar Naara, Sang ayah tersenyum kecil melihat posisi kain penutup piano yang tidak diletakkan dengan benar . Ia yakin Naara pasti baru saja bermain piano. Reinhard kemudian membuka pintu kamar Naara dan melihat putrinya sedang memasang wajah serius mengerjakan tugas sekolah.
“Gimana kabar Putri kebanggaan Bapak yang satu ini?”
“Baik Pak. Kok tumben pulangnya agak awal?”
“Iya, karyawan Bapak kerjanya pada gak becus. Ada yang datang terlambat tiga hari berturut-turut, ada yang lupa buat agenda meeting, sampe yang paling parah, ada yang bikin kopi lupa isi gula. Padahal selama ini udah berapa kali papa kasih tahu. Daripada kepala Bapak pecah mendingan cepat pulang aja.”
Naara tertawa kecil lalu memeluk sang ayah.
“Bapak jangan sering marah-marah ah. Nanti cepat tua.”
“Loh, Bapak kan memang sudah tua.” Jawab Reinhard sambil tertawa.
“Aduhhh Bapak ini kebiasaan deh ah ngeles mulu setiap dinasihatin.”
Sang Ayah tertawa kecil.
“Dek, ngomong-ngomong barusan kamu habis main piano ya ?”
Naara tersontak kaget lalu tertunduk malu.
“Iya pak.”
“Sayang, Bapak gak pernah larang kamu main Piano kan? Tapi seperti yang Bapak pernah bilang, semua itu ada waktunya. Naara hanya boleh bermain piano selama akhir pekan pada saat semua tugas sekolah sudah beres. Apalagi kamu udah kelas 3 SMA. Harus fokus belajar supaya bisa lulus dan bisa masuk ke Universitas favorit. Jangan ingkari perjanjian kita lagi ya nak.” Reinhard mencoba menasihati putri bungsunya ini sehalus mungkin.
“Iya pak Naara ngerti. Tapi habis pulang sekolah kadang aku capek dan ingin refreshing. Main Piano itu seperti caraku untuk ngusir lelah pak.”