The Story of Witch's Reunion

Amenosa Retosa
Chapter #2

Pesta Teh

PESTA TEH


Selain menulis surat atau puisi, aku cukup menyukai seni lukis. Aku ingin menjadikan ini rahasiaku sendiri.. tapi pelayanku memergokiku sedang melukis di kamar ketika ia terlupa meninggalkan sapu milik pelayan di kamarku. Dia yang sangat penasaran dengan lukisan sederhanaku, begitu riang menanyai dan memujiku.

Aku yakin pujian itu tentu mahal, tetapi kritik tak kalah bernilainya dengan pujian. Seorang seniman mestilah hidup di tengah-tengah pujian, harapan, dan ujaran kekurangan. Seringkali kekurangan yang orang lain sampaikan mampu membantu kita bangkit, daripada perkataan manis yang malah sering kali membuat kita lalai.

Mahh, apa yang baik maka baik lah. Ini tak seperti aku ingin menjadi seniman atau semacamnya. Gugahan rasa tertarikku pada seni lukis pun muncul secara kebetulan aku dapati sewaktu melihat karya lukisan orang lain di suatu perayaan. Tapi apa ini, aku bisa mentolerir bila hanya satu pelayan saja yang mengetahui kegemaran baruku, pelayan tadi malah membeberkannya pada pelayan lain tanpa izinku! Ingin segera tak menyebar lebih luas, terutama pada kedua orang tuaku, aku segera membungkam siapa saja yang tahu akan hobiku baru-baru ini.

Aku yang waktu itu memulai hanya dengan secarik kertas sketsa terus aku lakukan hingga hari kepergokku itu. Berkembang menjadi aku yang diam-diam memakai uang jajanku untuk membeli kertas, tentu pelayanlah yang aku mintai tolong dengan dalih pelayan diberi intruksi mengisi ulang persediaan kertas di kantor.

Sebelum-sebelumnya aku selalu meminta kertas pada ayah di kantornya. Tak ingin menimbulkan kecurigaan yang tidak perlu, aku mencoba menyamarkan keinginan kekanak-kanakanku. Meski aku percaya rahasiaku ini akan terekspos di kemudian hari selayaknya aku dipergoki oleh pembantuku sendiri..

Itu lebih cepat dari perkiraanku, ibuku kebetulan bertemu mentor pelajaran sihirku yang bertanya-tanya apak aku sedang tak enak badan dan memilih tak menghadiri kelas sihir hari itu. Ah, aku terlalu asyik melukis di kamar hingga terlambat mengikuti kelas. Hasilnya 100% aku ketahuan sedang mengembangkan hobi baru. Tak peduli seberapa terburu-buru aku mencoba menyembunyikannya sewaktu aku tahu seseorang akan datang melalui derap langkah dari luar pintu, itu tak cukup waktu untukku menutupi jejak..

Tapi mengapa harus ibu dari sekian banyak orang.. Pikiranku segera melesat ke arah yang terburuk. Namun bertentangan dengan kekhawatiran tak berdasarku itu, ibu malah senang sekali dan segera membelikanku lebih banyak peralatan melukis, bahkan menawariku untuk mendatangkan guru lukis tapi langsung aku tolak mentah-mentah. Yah, memiliki pengajar selalu lebih baik dalam membantu penguasaan suatu bidang kecakapan. Tapi aku tanganku sudah penuh. Aku sudah lebih cukup hanya dengan memiliki mentor sihir dan guru etiket.

Lihat selengkapnya