The Story of Witch's Reunion

Amenosa Retosa
Chapter #9

Di Kala Hujan

"Lath, ini! Coba kamu pakai."

"Apaan itu? Memalukan tahu."

Lath tetap bersikeras untuk menolak memakai bando bunga yang tak lama ini telah kubuat di kepalanya. Mengapa memakai bando bisa memalukan, aku bertanya-tanya...

'Tapi aku akan tetap memaksamu memakainya! Setelah kerja kerasku dalam membuatnya, takkan kubiarkan kamu menolaknya!'

"!"

"Wow, cocok sekali, ahahaha."

"Kenapa kamu melakukannya tanpa menunggu persetujuanku? Huh."

Meskipun Lath bilang membenci memakainya, ia tak juga melepaskan bando yang barusan kuletakkan di atas kepalanya. Entah apakah ia memberi pertimbangan untukku yang ia anggap tak lebih sebagai anak kecil atau ia hanya tak menghiraukan hal-hal remeh, aku tetaplah senang.

Sudah beberapa minggu semenjak aku menunjukkan sisi lemahku di hadapannya. Kala itu memanglah saat yang memalukan tapi itu begitu membekas di dalam diriku. Tak terlalu memalukan sebenarnya, malah aku kebanyakkan mensyukuri kejadian waktu itu. Meski Lath mungkin menganggapnya sebagai hal yang tak begitu berarti, tapi untukku bisa jadi hal yang amat berharga dan sebisa mungkin tak ingin kulupakan, selamanya.

"Ehehe."

"Ada apa dengan senyum konyol tiba-tibamu itu?"

"Aku hanya kebetulan berpikir akan seperti apa bila Lath menjadi seorang ksatria."

"Iblis seperti diriku menjadi ksatria dengan menaiki kuda putih lalu datang menyelamatkan putri cantik? Hiii, amit-amit."

"... Aku tak merasa ingin menjadi ksatria, pahlawan, atau semacamnya. Aku tak berpikir itu akan cocok denganku. Kenapa tidak hidup normal saja seperti orang desa?"

Setelah dia mengatakannya aku kira dia ada benarnya. Sebelum gencatan senjata, iblis telah menjadi musuh bebuyutan bagi kaum manusia. Banyak korban berjatuhan akibat konfrontasi mereka.

Seluruh benua manusia bahkan sampai bersatu hanya untuk menjembatani kesenjangan kekuatan tempur di antara mereka. Jangankan ksatria kavaleri yang merupakan garnisun kerajaan terkuat, penyihir yang memiliki potensi melebihi daya tempur kavaleri tersebut sekalipun akan dibuat kewalahan oleh mereka.

Selain itu tadi, pihak yang paling dekat dengan kekuasaan raja, gereja Suci, mencap spesies iblis sebagai sesat dan lebih dari pantas dibunuh. Sampai kini tak ada niatan bagi mereka untuk berubah pikiran atau hal-hal seperti mengubah ideologi mereka.

"Nah, siapa tahu, iya kan? Omong-omong Lath, apa kamu lebih menyukai desa dibanding kota?"

(Memiringkan kepala) "Hmm, kurasa aku lebih menyukai suasana kota."

"Huh, tapi tadi kamu bilang.."

Lath tak merespon, dia diam-diam melihat ke kejauhan dan menunjukkan wajah kontemplatif. Seolah dirinya tengah mengenang kenangan lama yang telah lama semakin memudar.

"..."

Ingin menyibak suasana tak nyaman ini, aku segera diingatkan oleh kenangan lama yang tak sempat kulakukan waktu lalu. Bukan tidak ada waktu, malahan belakangan ini selalu saja ada waktu bermain antara aku dengan Lath.

Aku bahkan mengingat betul kapan waktu tepatnya Lath beistirahat setiap kali. Apabila itu hari senin hingga kamis, dia akan beristirahat di jam 10 hingga pukul 11.15, sementara untuk hari jumat sampai minggu ia akan memiliki waktu istirahat di pukul 14.30 hingga 15.15 sore hari.

Jadwal sif tersebut menjadi tidak berlaku sewaktu majikannya bertepatan mempunyai agenda pertunjukkan sirkus di suatu malam hari, di mana Lath hanya akan memiliki waktu istirahat pada jam 22.10 hingga 22.25 saja.

Sebagai catatan tambahan, pekerjaan budak kira-kira akan berakhir pukul 22.30 setiap kali. Lebih dari itu akan dianggap sebagai kerja lembur. Tanpa diberi biaya sepeser pun, budak tetap diberi kebutuhan dasar oleh majikannya. Semisal tempat tinggal yang layak huni, pakaian yang pantas, makanan yang bergizi, dan lain semacamnya.

Adapun perlakuan yang agak mewah itu diberikan supaya profil lusuh mereka takkan mencemari citra majikannya. Dimanapun dan kapanpun, tuan feodal umumnya akan senantiasa menjaga martabatnya, tak peduli seremeh apa. Bagaimanapun..

"Hei, Lath, apa kamu tahu cara bagi kita agar memiliki anak?"

"? Dari mana datangnya ini? Aku tak tahu apa kamu akan mengerti, tapi anak hanya akan lahir setelah pria dan wanita saling bersatu."

"??"

"... Lihat? Kamu takkan mengerti, bocah."

"Aku bukan bocah lagi! Hump, a-aku paham betul itu! Eh, s-seperti ini, kan??!"

Merasa terganggu oleh cara Lath meremehkanku yang menurut anggapannya aku tak seumur dengannya, aku sontak berdiri lalu tiba-tiba mendekapnya dari depan.

'M-mengapa aku melakukan ini? S-semua ini salah Lath! Ya, Lath yang salah karena meremehkanku..'

".. Pft, puhahaha.. haha."

'Melihat reaksinya, apakah ada hal penting yang mesti dilakukan antara laki-laki dengan perempuan supaya dapat melahirkan keturunan? Huh, aku tak tahu lagi..'

Ada getaran yang menjalar ke tubuhku oleh sebab jarak kedekatan di antara kita. Melihatnya dari jarak sedekat itu, aku dapat melihat tanduk yang mencuat di kepalanya lebih jelas.

'Aku tak tahu apakah iblis lainnya sama seperti Lath. Habisnya aku belum pernah membaca sekalipun tentang manuskrip iblis. Setidaknya aku yakin belum pernah menemukannya di kediaman Ahleit..'

"Lath, apakah kamu punya teman lain selain aku?"

"Jika sesama iblis saja aku tidak pernah bertemu, jangan kira aku akan bisa menjalin pertemanan dengan manusia."

"Tapi kamu bisa berteman denganku?"

"...... Itu karena kamu bocah."

"Ack!"

Lath tiba-tiba menjentikkan jarinya di dahiku. Tanpa waktu lama, aku refleks memegangi dahiku walau nyatanya tak ada sedikit pun rasa sakit.

'Eh, tak sakit. Apakah dia menahan diri atau memang dia selemah ini?'

Masih mengusap dahiku yang tak sedikit juga timbul rasa sakit itu, di sudut pengelihatanku, aku memperhatikan lagi tanduk yang cukup besar menjulang kokoh. Aku lantas mencoba menggapai tanduk yang selama ini mengusik rasa penasaranku. Tapi ketika hampir benar-benar menyentuhnya, aku menjadi ragu-ragu.

"Kamu boleh menyentuhnya, loh."

Mendengar Lath bilang begitu, aku dengan lebih santai menggapai tanduk di kepalanya... Terasa sangat keras dan padat, agak dingin. Sisi tepinya mengeluarkan kilau. Sementara di ujungnya hanya terasa lebih tumpul, mungkin atas perlakuan khusus majikannya.

"Elli, kita harus segera kembali. Hujan bisa turun kapan saja."

Tersadar dari lamunanku, aku segera melepaskan pegangan tanduk di kepala Lath. Setelahnya aku berdiri menjauh darinya. Memang, setelah kulihat-lihat, cuaca mendung tanpa kusadari.

Tanpa banyak waktu menunggu, kami segera berlari menuju jalan pulang ke rumah. Karena arah pulang kita sebagian besar sama, maka kita berlari beriringan. Anehnya tanpa aku meresapkan sihir ke tubuhku, kecepatan lariku kurang lebih sama dengan Lath di sampingku.

Lihat selengkapnya