The Story of Witch's Reunion

Amenosa Retosa
Chapter #10

Jalanan Kota

JALANAN KOTA


'Fiuuh, perasaan menyegarkan selepas mandi memang tiada tara! Tapi buruknya aku tak kepikiran solusi apapun untuk menenangkan kekhawatiran orang tuaku!'

Aku terlalu asik dengan mandiku hingga aku tak dapat berpikir lurus. Pikir, pikir. Sekarang ini kedua orang tuaku sedang risau akan kelangsungan hidupku, kemungkinan terbesarnya mereka akan sedih dibanding memarahiku dulu.

Aku menganggap menangani orang yang sedih lebih mudah daripada berurusan dengan orang yang pemarah...Tapi mereka akan tetap memarahiku pada akhirnya!

Terutama ayah yang bisa bertindak keras itu.. Dalam hal ini ibu akan mencoba menenangkan ayah seperti biasa, kemudian ayah lama-lama akan menjadi tenang dan memaklumi perbuatanku. Menganggapnya hanya sebagai hari kecerobohanku seperti hari umum lainnya. Selanjutnya—

"Nona, Tuan besar memanggil Anda ke kantornya."

"Baiklah, katakan padanya aku segera akan ke sana."

Aku mencoba dengan sengaja memperlambat kecepatanku mengenakan pakaian, tapi.. aku sudah terlanjur memakai pakaianku, baik atasan dan bawahan tanpa aku sadari. Berpikir ayah akan menyadari kepulanganku secepat ini.. Aku memang sudah menebak pada akhirnya dia akan tahu. Mana yang lebih diprioritas antara majikan atau buah hati majikannya, praktis pelayan akan lebih mendengar majikannya dibanding sekadar mengikuti emosi sesaat.

Sempat aku mempertimbangkan untuk melepas pakaianku lalu mengenakannya lagi, tapi dengan cepat aku urungkan. Membuat-buat seperti aku mengulur waktu hanya akan cepat diketahui oleh ayahku yang selama ini telah memperhatikan pertumbuhanku.

Aku dengan langkah gugup berjalan menuju kantor ayahku di lantai 2. Pikiranku cukup terpenuhi dengan hal-hal negatif tentang apa yang akan terjadi berikutnya. Aku kira ini sudah menjadi kebiasaan buruk bagiku, menjadi agak paranoid seperti itu.

Tidak lama kemudian, aku sampai di depan kantor. Pintunya tertutup namun tak terkunci, aku agaknya bisa melihat siluet ayah dari celah-celah pintu, tengah duduk di kursi kesayangannya sambil kedua tangannya menopang dagu.

'Tenangkan dirimu, Elli. Orang pintar pernah bilang "Tak perlu alasan menyedihkan untuk dilihat sebagai korban, sebab jalan kehidupan sekali diambil takkan mungkin bisa ditarik kembali.", maka tak perlu bagiku takut. Aku hanya perlu menerima ocehannya tanpa mengeluh, itu saja!'

*Dereeng.. tak

"Akhirnya kamu datang ke sini, Ranelli. Aku sudah menunggumu di sini sedari tadi, putriku."

*Gulp!

Entah kenapa suara menelan ludahku terdengar lebih jelas di telingaku. Tiba-tiba saja ada hawa dingin yang merambat di punggungku, membuatku agak merinding.

Langkahku bergerak mekanis. Setiap langkah terasa berat, seolah ada lem yang menempel pada di alas kakiku.

Ayah tak kunjung membentakku, dia hanya menungguku dengan diam dan sabar. Sorot kedalaman matanya terlihat sedang memikirkan sesuatu yang sangat jauh, tak mungkin bisa kumengerti.

Akhirnya setelah penantian yang seperti selamanya itu, aku akhirnya sampai di depan meja ayahku. Ayahku benar-benar tak bergeming ketika aku mengambil tempat duduk di hadapannya.

Ayah tak mengatakan apa-apa. Dia hanya melihatku, tak pernah mengalihkan fokusnya. Setelah beberapa saat yang mencekik, ia baru membuka mulutnya..

"Ranelli, kamu sudah tumbuh besar. Aku tak tahu apakah harus bilang begini, tapi sebaiknya kamu berhenti dari permainan delusionalmu itu."

"H-hah, Apa? Ayah?"

"Ayah mengerti kamu tak memiliki teman di wilayah ini. Kedua orang tuamu pun tak selalu bisa mendampingimu bermain. Melihatmu begitu aku sangat prihatin dengan masa depanmu. Bahkan sampai hujan-hujanan di luar bersama teman gaibmu itu tanpa peduli kesehatanmu. Sebagai ayahmu, aku—"

"Wwww—A-ayah!"

'Gawat! Kalau aku menyangkalnya ayah bakal tahu kalau aku sering membolos demi bermain-main dengan Lath di tempat yang jauh dari rumah... Tapi, kalau aku tak menyangkalnya, a-aku, harga diriku, kuh! I-ini pasti ulah Daisy! Aku tak menyangka dia akan memakai alasan konyol semacam ini..'

Aku secara mental mengumpat kepada Daisy. Tak tahu kedalaman batinku, ayah hanya menatapku bingung.

"Ayah.. a-aku hanya merasa terlalu kesepian sendirian. Jadi aku um, t-tak sengaja m-menciptakan teman tak kasat mata sendiri."

Aku terus berupaya tak memalingkan pandanganku dari tatapan ayah yang mengintrogasi. Kunci dari menipu orang ialah tak membiarkan hal-hal ganjil dikenali!

"Kita sudah berteman cukup lama dan aku ragu kami akan bisa dipisahkan.. Dia selalu berada di dekatku selama ini.. Sekarang pun dia ada di sini.."

"Huh, benarkah? Di mana tepatnya dia sekarang? Berdiri, duduk?"

(Menunjuk) "Dia ada di pojok sana, ayah. Dari tadi dia berdiri di sana, terlalu malu untuk duduk bersama kita, haha!"

"Hahahha, begitu-begitu. Apa kamu bisa memintanya untuk ikut mengobrol bersama kita di sini?"

'Sip! Kena tipu, kena tipu..'

Aku diam-diam menyanyikan himne kemenangan perdanaku. Benar-benar bersorak atas kesuksesanku.

"Tentu-tentu, dia pasti senang~"

~~~

*Suara pintu menutup

Aku berjalan dengan tenang dan lebih riang, seolah-olah tak pernah ada hal yang terjadi. Aku terus bersenandung tanpa berpikir terlalu jauh. Selanjutnya aku harus menjenguk ibu di kamarnya.

Ibu mungkin tak jauh berbeda dengan reaksi ayah. Sangat mungkin dia akan sangat merindukanku selepas aku hujan-hujanan.

Mungkin juga dia akan bereaksi berlebihan dalam menanyakan kesehatanku. Lebih dari apapun ibu mungkin akan bertanya-tanya tentang teman gaibku juga.

'Yah, itu kedua kalinya untukku. Mari jawab saja seperti sebelumnya. Begini-begini, ternyata aku punya bakat berbohong. Bersiaplah, ibu!'

*Suara pintu berdecit terbuka

Lihat selengkapnya