Kegaduhan dapat kudengar jelas. Aku pun ingin tahu ada apa, sehingga banyak orang berlarian menuju si pembawa pesan dari kerajaan.
“Ayo cepat,” bisik seseorang di belakang punggung. Oleh karena kerumunan yang bergerak, tubuhku terdorong maju dan semakin mendekat. Kini, aku tahu berita yang tengah dikabarkan.
“Demeter? Demeter? Di sana kau rupanya.” Suara itu .... Aku menoleh, mencari-cari si pemanggil.
“Kemari kau! Ikutlah bersama ibu!” Ibu menarik tanganku begitu kuat, sampai-sampai gelang perak pemberian Ayah menggesek kulit. Aku tidak berani bersuara walau hanya mengeluarkan satu kata. Melihat wajah Ibu yang tampak khawatir sungguh menakutkan. Langkah kakinya tiba-tiba berhenti. Aku pun demikian, mengikuti. Ibu berbalik memandangku dengan tatapan murka.
“Kau dengar itu, dia sudah menjadi raja hanya berselang beberapa menit setelah kematian Raja Phillip.” Ibu berbicara.
Aku diam, menunggu juga mendengarkan. Sebenarnya, aku tidak mengerti, apa yang salah bila dia menjadi raja. Aku tersenyum, bersyukur pada Zeus, ayah dari semua dewa. Senyum yang hanya berani kuulas dalam bayangan, sebab Ibu tidak akan menyukai bentuk cinta kasih yang kutunjukkan untuk raja baru.
“Ibu sudah melarangmu memikirkannya. Atau kalau tidak, kau akan bernasib sama seperti Olympias. Ingatlah dari mana kau berasal, Demeter.”
“Mengapa aku harus malu terlahir dari desa di pegunungan Epirus? Bukankah Ibu juga berasal dari sana? Mengapa Ibu terus memintaku mengingat, apakah Ibu tidak mengingat juga ketika mengatakannya?”
“Kau berani membalas ucapanku. Aku akan mengadukan sikap tidak sopan ini pada ayahmu.”