Ares terus terdiam. Dia duduk di sebelahku. Aku beberapa kali menanyakan sesuatu, tetapi tidak dijawab olehnya dengan suara. Ares mengangguk atau menggeleng. Ya, dia hanya begitu. Sungguh menyebalkan. Akan tetapi, aku tak ingin memintanya bercerita lebih panjang. Kupikir dia marah, atau mungkin justru takut.
Aku mengusap-usap lengannya yang kokoh. Angin kering dan kencang menerpa kami. Musim panen tiba, jalan-jalan menuju pusat perdagangan begitu ramai. Aku dan Ares duduk di salah satu puncak bukit, sedikit tersembunyi di antara bebatuan sehingga para pelintas yang keluar-masuk Macedonia tidak dapat melihat kami.
Di sini adalah satu-satunya tempat yang paling kusukai, terlebih bersama Ares. Sejak kecil, kami saling mengenal, meski jarang bertemu karena Ares harus berbakti pada orang tuanya dan melanjutkan trofi kebanggaan menjadi prajurit. Ares memiliki tiga saudara laki-laki, dan semuanya menjadi mengikuti jejak ayah mereka yang kini mendapat posisi tinggi dalam pasukan.
Aku kecewa, sebab Ares membisu. Kami sudah jarang sekali bertemu, bahkan pernah sampai satu tahun tidak berjumpa. Ares semakin dewasa, kuat, dan dia mulai diperhitungkan untuk masuk pasukan inti. Aku mendengar kabar itu, meski Ares sekali pun tidak pernah menyinggungnya. Menjadi barisan terdepan sama artinya dengan pasukan adalah rumah. Aku mulai merasa kehilangan kebersamaan dengan Ares, tetapi aku tidak yakin dia memiliki kecemasan yang sama denganku.
“Aku dengar pasukan Persia benar-benar kuat, dan jumlahnya tak terkira.” Ares bersuara, lirih dan samar. Hampir tak terdengar, karena bersamaan dengan ucapannya, di bawah sana seekor kuda meringkik lalu berlari laju setelah diberi aba-aba oleh penunggangnya.
Aku memandang Ares, menatap dari samping. Sesungguhnya aku tidak tahu harus bagaimana menanggapi kalimat yang dia katakan.
“Seorang Ares tidak mungkin takut,” pujiku penuh ketulusan. Dia menoleh, pandangan kami bertemu.
“Kenapa kau bisa bicara seperti itu?” tanyanya.
“Karena kau adalah Ares, God of War.” Jawabanku berhasil membuatnya tersenyum.
“Nama pemberian Ibu terdengar seperti kutukan. Sepertinya, aku memang tidak akan memiliki rumah selain menjadi bagian dari pasukan kerajaan.”
Ares tersenyum, lebih seperti seringai.
“Aku yakin ada harapan-harapan baik setiap orang tua, ketika mereka memutuskan memberikan nama dewa atau dewi pada anaknya. Ares, kita semua tahu, dia adalah dewa perang. Ares, spirit of battle. Kau akan menang, aku yakin itu. Kau akan selalu pergi ke medan perang, kembali pulang, pergi lagi, dan begitu seterusnya. Akan tetapi, tidak ada satu hal pun yang akan dapat menghalangi langkahmu untuk kehidupan yang panjang penuh kemenangan.”
Tiba-tiba Ares memelukku, erat. Dia menciumi leherku, pelan lalu perlahan mulai terasa ada hasrat lain dalam sikapnya. Aku mendorong dada Ares, tanganku bertolak pada baju besi yang dikenakannya.
“Ares hentikan. Aku ingin menikah.”
Pelukan Ares terurai, tawanya meledak. Aku merasakan ada ekspresi mengejek dari caranya memandangku.
“Aku ingin menikah.” Aku menegaskan sekali lagi dengan kekesalan membuncah. Kuputuskan bangkit, berbalik badan untuk meninggalkan Ares.