“Biar Ibu yang menjawab.” Itulah satu-satunya kalimat yang kutemukan saat Ares memintaku menjadi istrinya.
Dalam hati, aku sungguh berharap Ibu akan menolak Ares. Ibu tidak mungkin membiarkan Ares membawa anak gadisnya tanpa sebuah imbalan, aku bisa ditukar sejumlah uang bila menikah dengan saudagar kaya.
Aku tahu apa yang ada di kepala Ibu, tidak lain adalah kekayaan dan kekayaan lainnya. Oleh sebab itu, Ibu benci padaku ketika tahu aku menyimpan cinta untuk Alexander. Itu adalah tindakan bodoh yang akan membawa petaka untuk hidupku. Juga bila aku mati, Ibu tidak akan memiliki barang berharga yang kemudian bisa mendatangkan keuntungan baginya. Benda berharga yang Ibu miliki ialah aku semata.
Dulu, aku punya seorang saudari. Aku dan Kakak terpaut usia tiga tahun, tinggi badan dan wajah kami hampir serupa. Banyak yang orang mengira aku dan Kakak adalah saudara kembar, tetapi nyatanya tidak. Kakak menghilang. Sungguh aku berani bersumpah, bahwa Kakak menghilang tanpa kabar berita. Namun, aku tidak pernah mempercayai ….
“Demeter! Apa yang kau pikirkan?” Ibu membentak. Aku berjingkat, kembali tersadar sedang di mana berada.
Sebelum akal sehatku kembali, Ibu melempar sesuatu yang tidak berhasil kuraih. Benda yang entah apa jatuh tepat di dekat kaki kananku.
Aku hendak menunduk, tetapi Ares lebih dulu memungutnya. “Apa ini milikmu?”
“Benar, itu milikku.” Dua lembar kain yang kupunya. Hanya itu pakaian yang kumiliki.
Pandanganku mengabur seketika memandang ke arah Ibu. Aku tidak mengerti kenapa dia melempar pakaianku, apakah itu artinya?
“Kau boleh membawanya. Aku tidak akan menghalangi siapa pun yang akan membawa Demeter. Aku sudah muak dengannya.” Ibu berlalu, dia masuk ke kamarnya yang hanya tertutup tirai kain berlubang-lubang.
Tenggorokanku terasa kering dan panas. Aku pikir, sungguh berpikir Ibu akan menahanku. Aku bukan tidak mau menjadi istri Ares, tetapi aku berharap ada seseorang yang lain.
“Demeter. Ayo, kita pergi dari sini.” Suara Ares pelan dan penuh perhatian, aku menangkap kebahagiaan di matanya.
Pedih, aku ingin menunggu Ayah. Akan tetapi, aku tidak mungkin tinggal setelah Ibu menyerahkanku pada Ares. Bukan pernikahan seperti ini yang kuharapkan, aku menginginkan restu Ayah. Aku ingin tahu jawaban Ayah, apakah dia bersedia menyerahkanku pada Ares.
“Ayo, Demeter. Kau tahu ke mana harus pergi, bersamaku.”
Kurasakan tangan Ares menyentuh punggungku, mendorong agar aku beranjak. Bulir air mata tak dapat kubendung. Beberapa orang bertanya ketika melihatku dan Ares keluar dari pondok usang orang tuaku.
Ares menjawab rasa ingin tahu orang-orang, bahwa aku telah diserahkan padanya. Ibuku sendiri yang melepasku. Aku sudah resmi menjadi milik Ares, hanya begitu. Tidak ada yang lain, tidak ada doa dari Ayah. Betapa aku ingin berteriak memohon untuk tinggal, tetapi itu hanya akan membuat Ares marah. Juga aku akan dipandang hina bila enggan dibawa oleh suami. Sementara itu, tidak ada lagi tempat untukku di rumah. Aku sudah tidak berhak.
Aku tidak tahu lagi apa yang ada di kepalaku. Semua terasa penuh sesak dan semakin aku memikirkannya, dadaku sakit karena menahan tangis.
Ares memimpin jalan kami, ke tempat di mana seharusnya dia membawaku. Tenda-tenda pasukan, aku bisa melihatnya dari tempatku berdiri. Sejenak kakiku berhenti, kuhirup napas dalam-dalam. Entah firasat apa yang membuat jantung berdebar kuat, sampai-sampai telapak tanganku berkeringat.
“Demeter,” Aku hendak menoleh, tetapi badanku terasa ditarik ke samping hingga punggung nyeri membentur batu besar, “aku menginginkanmu.”
“Kau sudah memilikiku, bukan?” Aku menanggapi, setengah bingung dengan sikap Ares.
“’Benar, lebih baik kau menurut padaku.”
Aku terimpit di antara tubuh Ares dan batu di belakangku. Sekuat tenaga aku menolaknya, tetapi Ares seolah-olah tidak mendengar. Dia mulai menciumiku, dan melakukan yang lainnya ....
Aku menangis kesakitan. Ares tampak tak peduli. Aku sungguh tahu Ares berhak melakukannya padaku, tetapi apa yang dia sebut sebagai beradab? Apa yang dibanggakannya dengan mencampuriku di jalanan?
Aku terluka, merasa tidak berarti. Setiap ada orang yang lewat, tatapannya tertuju pada kami. Tidak dapat diungkapkan betapa malunya diriku.
“Untuk apa kau menangis?” tanya Ares seusai memuaskan diri. Ares merapikan pakaiannya, tanpa menoleh padaku.