“Dia sudah bangun?” Teriakan seseorang mengusik telingaku. Akukah yang dia maksud?
Samar, kulihat cahaya menyilaukan, sampai-sampai aku menutup rapat mataku lagi untuk mengurangi pening. Dalam waktu singkat, kerumunan orang berkeliling di dekatku. Walau tanpa membuka mata, aku bisa tahu, sebab bising yang ditimbulkan semakin jelas.
“Mana, kau bilang dia sudah bangun?” tanya yang lain, suara laki-laki asing.
Aku masih memejam, sepenuhnya telah sadar kembali. Teringat peristiwa yang baru kualami. Sungguh menjijikkan. Aku diperlakukan begitu rendah seperti penjual diri, dan suamiku sendiri yang mengizinkan mereka ….
“Kau bisa bicara?” tanya seseorang lagi. Kali ini, kucoba meredam sakit hati juga perih yang merajai sekujur tubuh.
Perlahan kubuka mata, ada desakan dalam hati, ingin tahu siapa laki-laki yang terdengar mencemaskan diriku. Seketika aku beringsut, tatkala bersitatap dengannya yang setengah menunduk. Aku pasti salah melihat, atau aku sedang bermimpi.
“Bodoh, jawablah pertanyaan Tuan kita!” Seseorang berseru nyaring padaku.
“Aku … Demeter.” Kusebutkan nama, meski tidak ditanya. Itu adalah bukti bahwa aku bisa bicara.
Laki-laki di depanku menegakkan badan. Kulihat dia melambai pada seseorang di kejauhan. Aku tidak bisa melihat siapa yang dipanggil, sebab masih ada kerumunan di sekitar.
Tak lama kemudian, seorang prajurit muda datang. Salah. Bukan satu, tetapi dua orang. Si laki-laki mengatakan sesuatu pada dua prajurit itu dan dijawab dengan anggukan. Lantas, dia berbalik memandang laki-laki yang tadi berteriak. Dia kemudian menatapku. Tampak dadanya naik turun, menghela napas dalam.
“Kau bisa duduk?” Dia bertanya.
Tentu aku tidak tahu apakah aku bisa duduk, setelah apa yang terjadi. Demi Ker, Dewi kematian yang menyakitkan. Mengapa dia tidak mengambil nyawaku yang sudah tidak ada nilainya. Susah payah aku mencoba duduk. Sulit dan sakit. Bagian tubuh bagian bawah terasa mati. Aku bahkan tidak bisa menggerakkan kakiku.
Aku menjerit sekencang-kencangnya, saat seorang perempuan mendorong punggungku supaya tegak.
Laki-laki yang tadi bertanya seketika duduk. Aku melihat sesuatu yang berbeda dari manik abu-abu terang miliknya. Dia seperti memiliki daya magis yang lembut, dan penyayang. Dia memandangiku, membuatku malu mengeluhkan sakit. Aku mencoba tak bersuara untuk bertahan, meski ngilu dan perih tak sedikit pun berkurang.
“Aku akan membawamu. Apa kau mau, Demeter?”
“Kenapa tidak Tuan cari perempuan lain. Di sini banyak perempuan yang lebih sehat dan tidak kalah muda darinya.” Ada yang berseloroh sebelum aku mengeluarkan jawaban.
Suara sumbang yang entah siapa, dan diiyakan oleh suara-suara lain. Aku tidak mengenal mereka, bahkan tidak tahu tengah berada di mana. Satu-satunya hal yang kukenali hanyalah bau-bauan menyengat, sepertinya bahan-bahan obat yang ditumbuh atau diracik.
“Aku menyukai keberaniannya.” Laki-laki itu memuji, membuatku menunduk menyembunyikan senyum di bibir. “Apa dia bisa pulih? Aku akan membawanya. Tapi sebelum itu, aku ingin tahu bahwa dia tidak berpotensi mengalami cacat fisik.”
Hatiku mengkerut. Benar apa yang dia katakan, bila aku catat maka tidak akan berguna lagi.
“Dia akan sembuh. Aku yakin begitu.” Sebuah suara menjawab.
Harapanku mengembang kembali. Duniaku berputar-putar, naik turun dalam satu hari. Tak lama kemudian, dua prajurit membantuku berdiri. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, sekuat tenaga kucoba bangkit. Kuabaikan rasa sakit, tetapi tubuhku lemas. Aku tidak sanggup berdiri.
Aku menangis, menunduk dalam-dalam karena takut. Takut dibuang, takut dimanfaatkan, takut di ….
Tak kusangka salah seorang prajurit diperintahkan untuk membopongku. Aku kembali merasakan sakit yang tak tertahankan. Seakan-akan seluruh bagian tubuhku semuanya terluka. Aku melihat lenganku yang berwarna kebiruan di banyak sisi. Juga ada luka gores di dekat pergelangan. Aku bertanya-tanya apakah aku mencoba mengakhiri hidup? Sungguh, aku tidak dapat mengingat dengan jelas.