Jace dan Callia, nama-nama cantik seindah paras dua perempuan yang telah merawatku sampai benar-benar pulih. Kini, aku sudah bisa membantu pekerjaan mereka, menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh Hephaestion.
Ketika malam menjelang, aku bergegas ke kamar Hephaestion. Menunggunya datang dan mengurus semua yang dia butuhkan.
Jace adalah yang paling lama menjadi pelayan istana dibandingkan dengan Callia. Apalagi bila disandingkan denganku yang sama sekali tidak tahu menahu tentang tata cara hidup di dalam istana. Jace berkata, dulu dia ikut salah seorang anggota companion cavalry yang bernama Ptolemy.
Ptolemy memiliki pelayan baru yang lebih muda dan cantik, sehingga dia tidak lagi membutuhkan Jace. Kemudian Jace tak memiliki siapa pun untuk menanggung hidupnya. Atas kebaikan hati Hephaestion, Jace kembali mendapatkan tempat di istana.
Di satu siang, ketika kami bertiga tengah menjahit, Jace berkata, “Tuan Hephaestion berbeda.”
Aku mengangguk, mengiyakan ucapannya. Tentu dia berbeda, betapa baik laki-laki itu. Hephaestion menampungku, juga bermurah hati menerima Jace.
“Apa kau mengerti apa yang dimaksud oleh Jace?” tanya Callia, memandangku. Kuberikan dia jawaban yang sama, sebuah anggukan.
Diam-diam, aku mulai mengagumi sosok pendiam seorang Hephaestion. Dia jarang mengatakan sesuatu. Di antara teman-temannya, dia paling sedikit bicara, kecuali jika mendapat giliran bercerita atau harus melempar sebuah lelucon.
Hephaestion tidak senang minum terlalu banyak. Dia hanya akan minum sekadarnya, juga sering menolak perempuan-perempuan yang mendekatinya.
Aku sudah beberapa kali mengikuti ke mana pun Hephaestion pergi. Melalui cerita Jace dan Callia, aku langsung bisa mengenali siapa yang bernama Ptolemy. Sosok Ptolemy persis seperti apa yang Jace gambarkan, dia memiliki rambut lurus yang tipis, berwarna cokelat.
Menjadi pelayan adalah sesuatu yang sama sekali tidak aku mengerti, sebab semenjak kecil aku tiada bersentuhan dengan istana. Aku sering melakukan kesalahan, hal itu menjadi bahan tertawaan Jace dan Callia. Akan tetapi, Hephaestion tidak pernah menunjukkan ekspresi kecewa.
Aku kerap bertanya-tanya, ataukah dia tidak pernah marah? Ataukah dia selalu seperti itu, diam dan begitu tenang?
Kian hari bersama Hephaestion, keyakinanku padanya bertambah kuat. Aku juga telah percaya sepenuhnya bahwa dia adalah laki-laki yag berbeda.
“Apakah kau menyukai Tuan kita?” Pertanyaan Callia terlintas dalam kepalaku.
Mungkinkah aku menyukainya, lebih menyukainya dari sekadar bakti seorang pelayan pada tuannya? Semudah itukah perasaanku beralih dari Alexander?
Diam-diam, aku sering mengamati Alexander dan Hephaestion. Membandingkan antara satu dengan yang lain, setiap kali melakukannya aku akan berakhir pada keputusan sulit. Aku tidak dapat memilih satu di antara keduanya, meski itu hanya dalam imajinasiku semata. Tersebab, mereka tidak akan pernah memandangku lebih dari seorang pelayan.
Callia pernah berpesan, ada banyak perkara yang dibicarakan di istana. Oleh sebab itu, akan baik untukku tetap diam dan menuruti perintah.
“Demeter.”
Aku berjingkat. Hephaestion ada di hadapanku, dan aku tidak menyadari kehadirannya.